Sepotong sabit ditelan gulita malam
Aku masih menanti balasan puisiku yang bertandang ke rumahnya yang tak jua pulang
Di tengah ramainya bisik gemintang membicarakanku
Aku masih meracik diksi untukmu sebagai menu sarapan esok pagi
"Setelah sekian lama diabaikan apa kau tidak cukup bodoh untuk menanggalkan?" bisik daun jambu tua yang berselayang di bahuku pagi ini
Aku terlalu malu untuk bicara
Pada dedaun yang senantiasa
Menghantarkan salamku
Semenjak malam rajin menguping
Bergosip bersama bebintang dan angin
Diramaikan kicauan burung gereja yang berpura-pura tidur di dahan-dahan
Aku semakin beringas menoreh luka
Kala puisiku berlarian tunggang langgang sambil menangis
Lalu bertelanjang berlarian di tengah jalan
Aku semakin gila menggempur pertahanannya
Akan kuhancurkan rumah bergembok pongah itu
Aku tak ingin puisiku jadi gelandangan
Subang, 17 Â juni 22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H