Buat kamu yang baru saja lulus di tahun 2022 dan ingin melanjutkan studinya bisa banget sambil mondok apalagi jika kamu sekolah ke luar kota. Daripada sewa kosan yang mahal belum lagi biaya makan dan sebagainya, daripada ribet mending sekalian mondok aja. Sudah dapat ilmu pengetahuan dapat tambahan ilmu agama juga.
Tapi, kalau sekolah sambil mondok gitu nanti tugasnya malah makin menumpuk, hafalan jadi tambah banyak, belum lagi harus bangun setiap subuh dan mengaji. Waktu istirahat dan bermain pun akan berkurang. Apalagi bagi kamu yang kecanduan banget sama yang namanya gadget.
Di zaman sekarang ini, "Nggak Mondok Nggak Gaul!"
Saya adalah salah satu orang yang pernah mondok sewaktu saya duduk di bangku SMK. Itu adalah pengalaman pertama saya merantau, jauh dari orang tua, kerabat dan sahabat.
Pas awal-awal sih, saya juga sering memisahkan diri, nggak langsung akrab dengan semua orang. Waktu itu ada beberapa kelompok. Seperti halnya kita berada di lingkungan yang baru pasti akan ada beberapa golongan. Belum berbaur dengan semua orang. Dan mungkin saya termasuk kelompok yang minoritas. Sebelum sekolah di mulai, calon santri harus lebih dulu datang ke pondok dan melakukan kegiatan belajar mengaji.
Uh, jangan salah ... Karena lingkungan yang saya temui 180 derajat berbeda dengan lingkungan sebelumnya, saya masih belum tau bagaimana cara duduk yang benar saat mengaji, saya dan teman-teman saya yang lain bahkan banyak yang nundutan (dalam istilah bahasa sunda) ketika ustadz sedang menerangkan. Seperti sedang dibacain dongeng, rasa kantuk itu menyerang sangat dahsyat bahkan beberapa anak ada yang tidur. Karena kami masih baru dan masih tahap pengenalan, jadi kami aman-aman saja saat itu. Apalagi saat harus menulis arti pada kitab-kitab gundul. Atau istilahnya itu (Ngalogat). Saya bingung, bagaimana kita bisa menulis arti yang panjang itu sementara di dalam kitab tidak disediakan ruang yang cukup dan bahasa arabnya lebih pendek dari artinya, ditambah pak ustadz membacakannya seperti sedang membaca koran, pikiran saya saat itu yang belum terbiasa. Dengan mata terkantuk-kantuk saya harus tetap menulisnya sebagai bukti bahwa saya mengaji. Akhirnya saya menulis dengan hurup terkecil versi saya namun tetap tidak muat juga. Sehingga terbitlah tulisan-tulisan sanskerta yang tidak dimengerti siapapun termasuk oleh saya sendiri.
Sebulan ... dua bulan ... kami mulai akrab, kami mulai saling membantu, saling mengejek (dalam hal ini bercanda), kami mulai saling bercerita banyak hal. Sampai kepada siapa santri yang disukai kita pada waktu itu.
Jangan salah ... ketika disukai atau sedang menyukai santri, pasti tiba-tiba suka dapat salam atau surat cinta yang tiba-tiba terselip di tangan teman, atau buku-buku sekolah dengan modus pinjam buku karena belum nulis.
Hal yang tidak dapat saya lupakan itu saat masa-masa kami dilanda kekeringan. Waktu itu kami harus pergi bergantian ke sumur milik salah satu warga di dekat pondok. Karena sumurnya satu sementara jumlah santrinya bejibun, kami bergantian mandi mulai dari pukul 02.00 pagi hingga subuh. Karena ba'da subuh kami harus mengaji. Sepulang sekolah kami bergegas antri untuk mencuci. Ada juga yang mengantre licinan atau menyetrika pakaian. Antrian itu akan sangat panjang hingga sampai 20 orang sementara satu orang membawa satu ember cucian. Pernah ketika teman saya sedang sampoan kemudian tiba-tiba airnya mati. Jadi, teman saya meminta bantuan teman lainnya untuk membeli minuman kemasan di warung. Karena tidak mungkin dia keluar dengan kepala yang berbusa.