"Wah, anak SD juga sudah tahu bahwa itu salah...".
"Anak TK juga sudah tahu bahwa itu benar...".
Pernahkan Anda menggunakan taktik di atas dalam berdiskusi? Sejujurnya, saya pernah menggunakannya. Dan sekarang saya tahu, saya tidak boleh lagi menggunakan taktik itu.
Tadi malam, saya membaca ulang buku yang ditulis oleh: Madsen Pirie, How to Win Every Argument: The Use and Abuse of Logic (New York: Continuum, 2006). Buku ini berisi pembahasan tentang berbagai sesat pikir formal dan non formal.
Tiba pada halaman 60-63 buku tersebut, saya tertarik membaca ulasan Pirie mengenai taktik "anak SD juga tahu" atau "anak TK juga tau" (every schoolboy knows). Sebenarnya, dalam beberapa buku mengenai logika, taktik ini juga sudah dibahas. Hanya saja, saya akan fokus menjelaskan ulang argumen Pirie mengenai mengapa taktik ini merupakan taktik fallacious (sesat pikir).
*********
Mengapa orang menggunakan taktik tersebut? Orang menggunakan taktik semacam ini karena ingin mendapatkan penerimaan (acceptance) akan klaimnya. Tetapi, penerimaan itu diupayakan bukan dengan berargumen secara meyakinkan, melainkan dengan cara menyentil "rasa malu" dari lawan diskusinya.
Rasa malu? Ya, rasa malu! Bayangkan bahwa Anda adalah orang dewasa, apalagi yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Lalu, Ada orang yang menantang pandangan Anda dengan menyatakan bahwa "anak TK/SD pun mengetahui bahwa hal itu salah". Sebagai orang dewasa yang berpengetahuan, Anda tentu tidak ingin terlihat bodoh dibandingkan anak TK/SD, bukan? Maka demi menghindari rasa malu itu, orang "terpaksa" menerima argumen lawan, karena seakan-akan menolak argumen lawan yang menggunakan taktik tersebut, berarti menolak sesuatu yang sudah diketahui jelas oleh setiap anak TK/SD sebagai sesuatu yang salah. Malu dong kalau anak TK/SD saja tahu itu salah, mengapa orang dewasa yang berpengetahuan justru menganggapnya benar?
*********
Mengapa taktik ini fallacious? Karena taktik ini digunakan untuk mendapatkan persetujuan atau penerimaan dari lawan diskusi, bukan dengan presentasi argumen yang meyakinkan secara logis, melainkan dengan menyentil "rasa malu" lawan diskusi sehingga tidak lagi fokus pada bukti-bukti yang ada dan langsung mengambil langkah "menyelamatkan mukanya" dengan menerima argumen tersebut.
Jika Anda memenangkan sebuah diskusi dengan menggunakan taktik di atas, sebenarnya Anda tidak memenangkan diskusi dengan cara yang sah. Anda melakukan "kecurangan" untuk mendapatkan persetujuan dari lawan diskusi. Paahal, seharusnya penerimaan atau persetujuan itu terjadi karena argumen yang logis (valid dan sound), bukan karena takut malu dikatain tidak mengetahui semua yang sudah diketahui oleh anak TK/SD.
*******