Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Seruan PBB untuk "Bali Nine"; Jokowi "Boleh" dan "Harus" Menolak!

26 Februari 2015   11:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada artikel saya kemarin, sudah diperlihatkan bahwa hukuman mati merupakan metode hukuman opsional yang sah menurut ICCPR. Artinya, isunya bukan apakah Indonesia boleh menerapkan hukuman mati atau tidak. Isu sebenarnya adalah apakah hukuman mati pada kasus narkoba itu sah atau tidak.

Yurisprudensi HAM internasional

Pada tanggal 13 Pebruari 2015 yang lalu, Christof Heyns (UN Special Rapporteur on extrajudicial executions) menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi terhadap 8 terpidana mati kasus "Bali Nine", setelah 6 orang lainnya telah dieksekusi pada bulan Januari yang lalu.

Dalam seruannya, Heyns mengingatkan bahwa menurut yurisprudensi HAM internasional, "capital punishment could only be applied to the crime of murder or intentional killing." Konsekuensinya, kejahatan-kejahatan narkoba tidak dianggap termasuk dalam rentang makna klausa "the most serious crimes" pada artikel 6, no. 2 ICCPR. Dan bahwa eksekusi mati pada kasus "Bali Nine" di Indonesia, merupakan "an arbitrary execution."

Jika begitu, mengapa boleh menolak seruan itu ketika penolakkan itu pasti bertentangan dengan yurisprudensi HAM internasional?

Tradisi hukum internasional

Elemen-elemen dalam hukum internasional menjadi sebuah kewajiban yang harus bagi sebuah negara jika memenuhi kriteria-kriteria yang terkandung di dalam definisi dari "tradisi hukum internasional" (customary international law), yaitu:

"A general and consistent state practice of states followed by them from a sense of legal obligation."


Ketika kita menempatkan seruan PBB di atas dalam kerangka definisi "tradisi hukum internasional", maka seruan itu baru bisa dikatakan keharusan jika peniadaan hukuman mati pada kasus narkoba merupakan: a) praktik yang umum; b) praktik yang konsisten dilakukan; dan c) negara yang bersangkutan menganggapnya sebagai kewajiban legal (opinio juris).

Peniadaan hukuman mati bagi kasus narkoba, bukanlah sebuah praktik yang general. Menurut pernyataan terkini dari The Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), hukuman mati untuk kasus ini mayoritas masih diterapkan oleh: Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Cina, Bahrain, Bangladesh, Guyana, Cuba, Mesir, India, dll.

Kriteria berikutnya, konsistensi, tidak relevan didiskusikan di sini maka kita langsung saja kepada kriteria ketiga yaitu opinio juris. Yang dimaksud dengan opinio juris dalam konteks ini adalah "anggapan umum bahwa praktik tertentu merupakan keharusan di bawah hukum internasional."

Berdasarkan data pada kriteria mengenai praktik general di atas, seharusnya sudah bisa ditarik implikasinya yaitu anggapan bahwa kasus narkoba tidak termasuk dalam the most serious crimes (untuk negara-negara yang hanya menghapuskan hukuman mati untuk ordinary crimes) belum dapat dianggap sebagai anggapan umum. Apalagi, faktanya adalah bahwa Indonesia tergolong ke dalam kategori negara retentionist (negara yang menerapkan hukuman mati baik bagi ordinary crimes maupun the most serious crimes).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun