Saya semakin terdorong untuk membuat tulisan ini setelah membaca komentar Kompasianer Hendra Budiman di tulisan saya kemarin. Walau gagasan ini sudah muncul sejak pertama kali membaca argumen serta putusan Hakim Sarpin Rizaldi pada hari Senin yang lalu.
Ini bukan lelucon walau memang ada sisi lucunya. Ini adalah salah satu jenis argumentasi yang valid dalam logika. Namanya adalah reductio ad absurdum. Jenis argumentasi ini sangat powerful dalam mereduksi kekuatan argumentasi lawan hingga pada titik nadir.
Sejak dimaklumatkannya putusan hakim Sarpin Rizaldi pada hari Senin yang lalu, sejumlah pihak menganggap bahwa putusan tersebut seharusnya menjadi acuan yang sah bagi Jokowi untuk melantik BG sebagai Kapolri. Asumsinya adalah status tersangka yang disangkakan terhadap BG oleh KPK telah dianulir oleh putusan tersebut, maka seharusnya tidak ada lagi halangan untuk melantik BG menjadi Kapolri.
Singkat saja, asumsi di atas keliru! Jika putusan hakim Sarpin Rizaldi diasumsikan benar mengenai terbebasnya BG dari status sebagai tersangka, itu tidak serta merta menjadi dasar keharusan pelantikan BG sebagai Kapolri. Sebab, argumentasi yang mendasari putusan Sarpin Rizaldi tersebut juga sekaligus mengurangi bobot kualifikasi BG sebagai Kapolri.
Argumen Sarpin Rizaldi
Menurut Sarpin Rizaldi, jabatan Kepala Biro Pembentukan Karir (Karobinkar) adalah jabatan administratif, bukan bagian dari alat negara dan penegak hukum. Bagi Sarpin, ini hanya jabatan administratif. Ini adalah salah satu argumentasi Sarpin Rizaldi yang meloloskan BG dari status sebagai tersangka korupsi. Dengan kata lain, BG pada saat itu bukanlah alat negara dan penegak hukum. Kesimpulannya, jabatan adminstratif tidak termasuk dalam pengertian alat negara dan penegak hukum.
Kita asumsikan saja argumentasi Sarpin Rizaldi benar. Tetapi, dengan menggunakan reductio ad absurdum, argumentasi di atas justru menolak atau setidaknya mengurangi bobot keharusan pelantikan BG sebagai Kapolri.
Reductio ad absurdum
Menurut UU Kepolisian, Kepolisian adalah alat negara dan penegak hukum yang dikepalai oleh seorang Kapolri. Imply-nya, Kapolri itu sendiri adalah seorang alat negara dan penegak hukum, maka ia berkualifikasi untuk memimpin sebuah lembaga yang adalah alat negara dan penegak hukum.
Jika argumentasi Sarpin ditempatkan dalam konteks UU Kepolisian RI, maka kita wajib untuk menanyakan kualifikasi BG sebagai seorang Kapolri. Apakah BG layak menjadi Kapolri berdasarkan argumentasi Sarpin dan UU Kepolisian RI?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyimak rekam karir BG hingga saat ini. Menurut Wikipedia, BG pernah menjabat berbagai jabatan, sebagai berikut:
- Ajudan Wakil Presiden RI (1999-2001)
- Ajudan Presiden RI (2001-2004)
- Karobinkar SSDM Polri (2004-2006)
- Kaselapa Lemdiklat Polri (2006-2008)
- Kapolda Jambi (2008-2009)
- Kadiv Binkum Polri (2009-2010)
- Kadiv Propam Polri (2010-2012)
- Kapolda Bali (2012)
- Kalemdiklat Polri (2012-Sekarang)