[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="http://gdb.voanews.com/"][/caption] Pada hari Rabu, 19 November 2014, Ahok dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai gubernur definitif DKI Jakarta periode 2012-2017. Suara-suara resistensif bernuansa SARA, hiruk-pikuk diteriakan di sepanjang jalan beberapa saat lalu. Ada yang mencoba berkilah: "Ooo mereka menolak Ahok bukan karena agamanya". Tidak perlu lagi justifikasi untuk resistensi lacur ini. Meneriakannya kemudian menyangkalinya merupakan indikasi bahwa para peneriaknya pun menyadari bahwa suara mereka "sumbang". Inti sederhana yang kejelasannya sebening kristal dari teriakan itu, direct and straight, adalah pelantikan Ahok invalid, salah satunya yang terpenting, karena ia tidak beragama Islam. Tidak perlu malu-malu mengakui ini. Kita senantiasa melatih diri kita menggunakan kata-kata bersayap dengan jurus "pukul tiang kena tembok". Maaf, saya mengulanginya dengan lugas: Mereka menolak Ahok, salah satunya, karena ia tidak beragama Islam! Maka silakan baca kalimat ini baik-baik: Indonesia bukan Negara Islam! Saya tahu mereka tidak suka membaca kalimat ini. Tetapi ini adalah faktanya, suka atau tidak suka. Mereka mau menciptakan legend in their own head bahwa negara ini harus diatur dan berjalan sesuai dengan ideologi mereka, itu adalah hak personal atau intern kelompok Anda. Sayangnya, mereka harus bangun dari tidur dan mimpi serta fantasi itu untuk membaca kalimat faktual ini: Negara ini bukan negara Islam. Kebenaran itu, terkadang memang menyakitkan! Bukan hanya bukan negara Islam, melainkan juga bukan negara Kristen, bukan negara Budha, bukan negara Hindu, dst. Ringkasnya, Indonesia bukan Negara Agama. Indonesia adalah Negara yang pilar-pilarnya sangat jelas: UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Di samping proposisi fundamental di atas penting untuk ditegaskan, penting juga untuk menegaskan ulang proposisi bahwa persatuan tidak mengasumsikan keseragaman. Bersatu tidak berarti harus seragam. Ketika konsep ini dibalik, maka hasilnya adalah teriakan ini: Ahok harus ditolak karena ia tidak "seragam" dengan kami! Di sini menjadi jelas bahwa ternyata persoalannya bukan di Ahok. Persoalannya ada pada cara berpikir Anda yang salah kemudian melahirkan teriakan salah kaprah pula. Cacat konstitusi? Mereka menyodorkan pasal 27 huruf c dan f undang-undang nomor 27 tahun 2004. Apa argumennya? Argumennya adalah cara bicara Ahok. Ahok melanggar pasal ini karena cara bicaranya. Ya, ini salah satu contoh lain dari pemutarbalikan konsep di atas. Sejak kapan orang harus seragam dalam cara bicaranya. Cara bicara itu terbentuk oleh kearifan lokal, kultur yang spesifik. Termasuk juga personalitas orang yang bersangkutan. Kita tidak dapat menuntut seseorang atas nama etika dan norma (konsep yang absolut) hanya karena gaya bicaranya berbeda dengan kita. Atau lebih parah, karena kita tidak suka dengan gaya bicara orang tersebut. Menyodorkan pasal di atas untuk "menutup mulut Ahok" berarti mereka melakukan fallacy of category. Merekamengacaukan antara sesuatu yang relatif dengan sesuatu yang absolut. Anda menyodorkan konsep yang absolut-objektif untuk hal-hal yang terkategori relatif-subjektif. Dua proposisi penting yang saya tegaskan ulang di atas adalah implikasi dari pilar-pilar demokrasi Pancasila yang dianut di Indonesia. Tentu saja, dalam demokrasi, setiap elemen bangsa ini berhak dan boleh menyuarakan pendapat serta aspirasinya. Tetapi, berhak dan boleh tak sama dengan pasti benar! mereka boleh menyuarakan pendapat dan aspirasinya, tetapi mereka harus terbuka untuk menaruh suara dan aspirasi mereka di atas "ujian". Dan pelantikan Ahok adalah ketukan palu bahwa suara mereka-lah yang invalid. Kedua proposisi di atas melandasi ketukan palu itu! Lebih dari itu, saya melihat pelantikan Ahok sebagai sebuah selebrasi. Bukan dalam nuansa "hura-hura". Nuansanya adalah kegembiraan. Kegembiraan bahwa diversitas atau keberagaman tetap berdiri pada akhirnya. Kegembiraan bahwa demokrasi baru saja menaikkan salah satu putra terbaiknya ke atas panggung sejarah pemerintahan di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta. Ketika ditanyai, Ahok menyatakan bahwa ia tidak akan mengadakan selebrasi pribadi karena pelantikannya. Ia juga menandaskan bahwa tugas utamanya adalah memperjuangkan serta mempertahankan pilar-pilar demokrasi. Sesungguhnya, bagi Ahok, pelantikannya adalah selebrasi demokrasi. Selebrasi yang menandai kiprahnya untuk menjaga dan mempertahankan pilar-pilar demokrasi. Saya bersama Ahok untuk tujuan di atas. Semoga ada di antara Anda sekalian yang membaca tulisan ini, juga demikian. Jika tidak pun, mengutip Martin Luther, "Di sini saya berdiri!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H