[caption id="attachment_313286" align="aligncenter" width="619" caption="Ilustrasi/Admin (Amriltg/KOMPASIANA)"][/caption]
Pepih Nugraha,Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang: 50 Interaksi Reporter di Republik Blogger. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2013. xii+265 hlm. Harga Rp. 54.000.
Sejak Bulan Agustus 2013, saya sudah membaca tinjauan dari beberapa Kompasianers mengenai buku di atas. Sekilas, saya menangkap kesan: sederhana, gaya bahasa yang memikat bercorak popular, namun sarat makna. Saat membeli buku ini pada tanggal 31 Desember 2013 bersama buku Pepih Nugraha (selanjutnya akan disingkat PN) yang lain berjudul: Menulis Sosok (akan saya ulas pada kesempatan berikut), kesan ini memang saya dapati juga.
Tanpa mengurangi apresiasi saya terhadap buah karya PN, dalam ulasan ini, saya akan mempercakapkan isi buku ini secara kritis. Kritis yang saya maksudkan di sini adalah interaksi dialogis dengan isi buku ini, baik dari segi kekuatannya, maupun dari segi yang menurut pertimbangan saya merupakan “kelemahan”. Saya terpaksa menggunakan kata “kelemahan” karena kesulitan mencari kata yang tepat untuk menghindari kesan ofensif terhadap isi buku ini. Dan memang saya tidak memaksudkan “kelemahan” di sini dalam pengertian ofensifnya karena saya tidak ada “masalah” sama sekali secara umum dengan substansi buku ini kecuali dua hal teknis yang saya garisbawahi nanti.
Tampaknya, judul buku ini “Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang” memiliki makna ganda (bnd. hlm. xi). Pertama, ibu Pertiwi memanggil pulang anak bangsa yang berada di luar negeri. Mereka berada di luar negeri, dalam tulisan PN, mayoritas karena kekecewaan terhadap berbagai problem akut di Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang berpotensi besar, namun Indonesia tidak membuka pintunya bagi mereka untuk berkarya dan dihargai secara maksimal atau karena memang wajah Indonesia dalam berbagai sendinya tak cukup memikat bagi mereka. Kekecewaan adalah kata kuncinya.
Kedua, mereka yang tinggal di Indonesia namun terlalu cenderung mengkritik ketimbang berkarya secara nyata bagi bangsa ini. Termasuk juga mereka yang tinggal di Indonesia namun menjadikan Indonesia sebagai lahan pelampiasan nafsu berkuasa, meraup kekayaan secara kotor, dsb.
Artinya frasa “memanggil pulang” bagi mereka dalam kategori ini bukan lagi “kembali ke Indonesia dari luar negeri” seperti poin pertama di atas, namun berarti kembali kepada “… jalur yang benar sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, punya karakter kebangsaan yang kuat, serta selalu ingat bahwa merebut kemerdekaan…Ibu Pertiwi tidak mudah” (hlm. xi).
Bagi kedua kategori anak bangsa di atas, PN mempersonifikasi Indonesia dengan "Ibu Pertiwi" untuk mengobarkan kembali cinta akan bangsa Indonesia, Nasionalisme, dan karakter serta keluhuran budi pekerti yang diamalkan atas dasar pilar-pilar kebangsaan (Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, Pancasila, dan NKRI).
Penting sekali, menurut saya, untuk mengingat kedua kategori di atas saat membaca buku ini karena 50 artikel singkat yang dipayungi judul “Indonesia Memanggilmu Pulang” menggemakan makna ganda dari judul ini. Ada artikel-artikel yang secara khusus membahas tentang anak bangsa yang [memilih] tinggal di luar negeri (mis. artikel ke-5 – 7, 10, dll.). Ada artikel-artikel yang membahas tentang tindak-tanduk anak bangsa yang tinggal di Indonesia (mis. artikel no. 4, 12-13, 16-18, 40, dll.). Bagi segenap anak bangsa, PN menyajikan juga artikel-artikel yang membahas tentang budi pekerti, toleransi, dan nasionalisme dalam rangka membangun karakter kebangsaan (mis. artikel no. 1, 14, 21, 34, 49-50, dll.).
Dengan gaya bahasa dan teknis penulisan popular (format non akademis), 50 artikel dalam buku ini terasa menyentil pengiyaan kita akan kondisi umum yang kita ketahui bersama – yang mayoritas memalukan memang – yang terjadi dalam bangsa ini. Berangkat dari kondisi umum inilah, PN menyerukan suara profetisnya: budi pekerti dan moralitas bangsa, toleransi, dan Nasionalisme. Dan saya rasa tidak berlebihan, bila menggunakan nilai-nilai jurnalisme di Kompasiana, buku ini layak memboyong nilai: Aktual, inspiratif, menarik, dan bermanfaat.
Di samping apresiasi di atas, saya juga perlu memberikan catatan kritis saya mengenai dua pokok teknis dalam buku ini.
Pertama, artikel-artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan PN di blog pribadinya maupun di Kompasiana. Untuk menjadikannya sebuah buku, PN “merombak dan memoles kembali seluruh tulisan” untuk diadaptasikan dengan “sudut pandang peristiwa mutakhir” dan “untuk menghindari jebakan anakronisme” (hlm. xi). Anakronisme berarti peristiwa atau ungkapan sejarah yang digunakan penulis tidak sesuai dengan kronologi waktu terjadinya peristiwa tersebut (mis. “Aleksander Agung makan es krim”. Ini anakronis karena pada masa Aleksander Agung, es krim belum dikenal). Bagi saya kekhawatiran mengenai “jebakan anakronisme” di sini tidak perlu karena buku ini bukan historiografi (tulisan bergenre sejarah). Bahkan dalam historiografi pun, seorang penulis tidak selalu harus mempresentasikan materinya dalam takaran kronologi waktu yang tepat. Karena ada satu sub-genre dalam historiografi yang bernama “narasi prolepsis” di mana seorang penulis historiografi meng-update peristiwa sejarah yang ditulisnya dengan menggunakan istilah-istilah pada jaman si penulis walau pun istilah-istilah tersebut belum dikenal pada masa terjadinya peristiwa sejarah yang digambarkannya. Selain sub-genre ini, dalam historiografi pun dikenal aspek penulisan yang disebut point of view dari sang narator sejarah di mana kadang unsur update dilakukan. Dan untuk hal-hal seperti ini, hanya pembaca yang tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan atau yang sangat tendensiuslah yang akan menuduh tulisan itu mengandung anakronisme.
Dan kedua, poin pertama di atas penting karena rupanya PN berupaya menghindari sesuatu yang tidak perlu sehingga ia menempatkan tulisan yang sama persis dengan judul buku ini (artikel no. 5) bukan pada urutan pertama dalam komposisi isi buku ini. Padahal umumnya buku-buku yang berisi kumpulan tulisan dari seorang penulis menggunakan judul tulisan yang dirasa paling menonjol dan menarik yang “mengikat” semua tulisan lainnya, lalu ditempatkan pada urutan terawal bukunya. Saya tidak tahu persis apakah teknis seperti ini adalah sebuah keharusan atau tidak dalam pengomposisian sebuah buku yang isinya kumpulan tulisan – khususnya buku-buku yang menggunakan judul dari salah satu tulisan di dalamnya. Tetapi, saya menduga bahwa karena alasan menghindari anakronisme – sebuah alasan yang tidak perlu sama sekali – maka tulisan yang mencerminkan judul buku ini tetap ia tempatkan pada urutan kelima dalam buku ini.
Terlepas dari dua hal kecil di atas, saya melihat PN menganggap penting menyerukan panggilan Ibu Pertiwi bagi segenap anak bangsa karena ia melihat Ibu Pertiwi berduka. Sebuah seruan yang sangat penting dan harus diresponsi. Maka saya tak dapat berbuat lain selain, bersama PN, menjawab: “Tenang, Ibu Pertiwi. Masih ada aku”!
Bekasi, 3 Januari 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI