[caption id="attachment_297588" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://www.edupics.com/coloring-page-fighting-dm11662.jpg"][/caption]
Kita sudah familiar dengan diktum filosofis: "Mengalah untuk menang", termasuk kita sudah sering juga mendengar orang mendengungkan diktum ini sebagai sebuah solusi bagi, katakanlah, suatu perselisihan.
Mari kita pikirkan sejenak, apa maksud dari diktum tersebut? Kira-kira, dalam sebuah contoh konkret, ketika ada perselisihan yang kompleks, salah satu pihak dengan sendirinya atau atas dorongan pihak lain, "menarik diri" dari perselisihan itu. Inilah contoh nyata dari "mengalah". Lalu "menang" dalam diktum tersebut apa maksudnya? Saya tidak tahu persis. Tapi, kalau tidak salah, meredakan suasana yang jika tidak "menarik diri" darinya, berpotensi menjadi lebih panas. Jadi, bisa saja, menang di sini berarti menjadikan suasana kondusif akibat perselisihan, entah argumentatif atau fisik, sebagai prioritas penanganan dengan cara "mengalah". Maka, "mengalah" tidak berarti "mengaku kalah".
Bagus sekali. Dalam tataran pragmatis, kelihatannya diktum di atas sudah bisa dianggap sebagai "obat" yang mumpuni.
Persoalannya adalah apakah dengan salah satu pihak "menarik diri" lalu masalahnya benar-benar selesai? Atau, penarikan diri dari perselisihan itu justru hanya menjadi solusi jangka pendek di mana akar masalahnya tetap tertabung dan menunggu waktu yang "tepat" pada kesempatan berikutnya untuk meledak lagi?
Saya tidak menyangkali manfaat jangka pendek dari diktum tersebut seperti yang saya utarakan di atas. Tetapi, diktum di atas bukan solusi yang sebenarnya dari sebuah perselisihan. Bisa saja diktum tersebut diterapkan. Tetapi jangan hanya berhenti di situ lalu merasa sudah "menang". Justru belum ada "kemenangan" apa pun yang bisa diklaim, jika standarnya adalah penyelesaian masalah hingga tuntas. Sebab, dalam banyak kasus, ketika salah satu pihak menarik diri dari perselisihan atas dasar diktum di atas, justru yang selanjutnya yang terjadi adalah "perang dingin", pertukaran sindiran, pengaturan strategi baru untuk menyerang lawan, dsb. Tidak ada penyelesaian. Masalahnya justru makin banyak mengendap dan menumpuk. Ibarat bom waktu, ia hanya menanti saatnya untuk meledak kembali dengan dentuman dan akibat yang jauh lebih besar.
Maka, masihkah "menang" dalam diktum "mengalah untuk menang", memiliki makna? Saya yakin, tidak! Itu hanya sebuah lip service tanpa esensi. Tidak bermakna karena potensi untuk memanas lagi justru akan jauh lebih besar ketimbang awalnya, bahkan bisa jadi, jauh lebih buruk ketimbang suasana awalnya termasuk juga jauh lebih menyakitkan.
Harus ada tindak lanjutnya, saya pikir. Dan tindak lanjut itulah yang justru merupakan "obatnya", bukan diktum itu sendiri. Setelah suasana kondusif, pihak-pihak yang berselisih, mungkin butuh dimoderasi, perlu membicarakan persoalan tersebut dan menyelesaikannya hingga tuntas. Jika tidak, maka diktum filosofis di atas hanya seperti morfin bagi yang terluka, namun bukan obat bagi luka itu sendiri.
Meski begitu, masih ada satu kemungkinan. Mungkin sebuah kemungkinan yang termasuk ideal. Jika Anda ingin menerapkan diktum filosofis di atas tanpa tindak lanjut seperti di atas, hendaknya setelah menarik diri Anda benar-benar mengatupkan mulut dan berhenti sama sekali menggunjingkan perselisihan itu. Jika ini yang Anda lakukan, saya adalah orang pertama yang mengangkat topi bagi Anda. Sebab, saya rasa tidak banyak orang yang bisa bersikap demikian, khususnya bila perselisihan itu menyangkut "harga diri" dan "identitas".
Anda mau memilih yang mana: a) menarik diri lalu mengomel, mengadakan pergunjingan berjamaah, mengatur strategi yang jauh lebih licik untuk menjatuhkan lawan Anda; b) menarik diri, menanti suasana kondusif, lalu mengadakan pendekatan rekonsiliasif; atau c) menarik diri lalu mengatupkan mulut sama sekali kemudian tidak mengungkit-ngungkit isu tersebut kembali? Jika ada memiliki opsi lain yang jauh lebih baik, silahakan diterapkan. Namun, itu tetap membuktikan satu hal yaitu bahwa diktum filosofis di atas sangat kecil nilainya - paling banter hanya menjadi seperti morfin, namun bukan obat!
Selamat pagi; Salam Kompasiana!