Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kasih dan Keadilan: Either/Or atau Both/And (Refleksi atas kasus MA)

31 Oktober 2014   11:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://unblogmysoul.files.wordpress.com/

[caption id="" align="aligncenter" width="442" caption="http://unblogmysoul.files.wordpress.com/"][/caption] Berpakaian lusuh, wajah memelas, dan kata-kata yang mengiba, hati siapakah yang tak terenyuh olehnya? Itulah yang terlihat pada sosok ibunda MA yang bahkan bersedia bersujud di kaki Jokowi sembari meminta anaknya, MA, untuk dibebaskan dari jerat hukum (sumber). Sontak, mayoritas rakyat bangsa ini menyuarakan keprihatian, tanda solidaritas dan berseru atas nama kasih, belas kasih, dan kasihan, meminta agar proses hukum MA ditiadakan saja. Mereka bahkan membentuk opini publik dengan berbagai akun medsos seperti yang diberitakan di sini. Suara mereka adalah ekspresi dari satu sisi kemanusiaan. Suara natur kasih yang merupakan bagian intrinsik dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang mengasihi. Tanpa kasih, manusia bukan manusia yang utuh lagi. Cetusan nyata satu sisi natur kemanusiaan ini memang bukanlah sesuatu yang sepele untuk dianggap angin lalu. Itu bahkan pertanda baik, bahwa ada satu sisi kemanusiaan unik nan baik, terlihat jernih ada di jiwa bangsa ini. Tetapi tanpa mampu ditampik pula, kasih itu rentan salah arah, salah kaprah, dan salah guna! Kasih bahkan dapat diperalat. Pengalaman mengajarkan kita demikian. Maka menjadi manusia yang utuh, memiliki kasih saja tanpa atribut-atribut kemanusiaan yang lain, sudah pasti belum cukup. Antinomi dari kasih, bukan paradoks bukan pula kontradiksi, adalah keadilan. Sayangnya, keadilan dan kasih lebih sering dilihat secara dikotomis. Dan ketika sesuatu terjadi, orang bersegera menyodorkan kasih sebagai pilihan yang paling terkemuka dan membiarkan keadilan berdiri di pojok sana seakan-akan ia harus mengakui dirinya tak berdaya di hadapan kasih. Orang membentuk paradigma seakan-akan kita harus memilih antara kasih atau keadilan! Apakah kasih dan keadilan pada naturnya merupakan sebuah pilihan either/or di sini? Apakah kita hendak memperhadapkan Jokowi dengan pilihan bifurkatif ini sambil memberi kesan bahwa jika Jokowi memilih keadilan, maka ia telah membuktikan dirinya sebagai pengabai pilihan yang paling terkemuka (kasih) di atas? Ataukah sebenarnya kitalah yang sedang atau yang sudah menciptakan opsi bifurkatif yang salah atas dasar paradigma yang salah mengenai relasi kasih dan keadilan? Mari pikirkan ini! Kasih dan keadilan, bukanlah dua tetangga yang saling bertengkar. Mereka tidak membentuk partai pendukung, seakan-akan kemenangan mereka bergantung atas jumlah pendukung atau lantangnya suara dari orang-orang yang menyerukan kemenangan salah satu di antara mereka. Kasih dan keadilan tidak pernah dimaksudkan supaya kita menjadikan mereka sebagai pilihan: kasih atau keadilan! Keadilan dapat merupakan ekspresi kasih, begitu juga sebaliknya kasih haruslah kasih yang berkeadilan. Keadilan tanpa kasih adalah tirani. Kasih tanpa keadilan adalah permisif! Keduanya bersahabat; membentuk suatu ketersalingan. Keadilan dan kasih adalah dua sisi natur kemanusiaan yang mestinya dilihat dalam paradigma both/and bukan either/or! Kita tidak dapat memilih antara kasih atau keadilan. Karena itu, kita tidak memiliki hak moral apa pun untuk menilai Jokowi ketika ia tidak mau memilih berada di pihak kasih (sesuai suara memelas ibunda MA dan suara-suara lantang itu) di satu sisi dan menetapkan hati untuk meneruskan proses peradilan terhadap MA di sisi lain. Kita tidak memiliki hak moral itu, karena kita menciptakan fake option (opsi palsu) yang seakan-akan benar, tetapi salah! Opsi palsu itu kita suarakan dan ketika Jokowi tidak memenuhi opsi palsu itu lalu kita berkata: shame on you, Jokowi? Mengadili MA merupakan ekspresi kasih terhadapnya. Dia dikasihi, maka ia diadili. Justru ketika orang bersalah namun tidak diadili, maka ia merupakan orang yang paling tidak dikasihi. Saya teringat sebuah kalimat hikmat kuno yang berbunyi demikian: "Those whom I love, I reprove and discipline; be zealous therefore, and repent". Saudaraku MA, relakanlah hatimu untuk diadili, sebab dengan begitu engkau menikmati ekspresi kasih yang paling murni, yaitu didikan dan disiplin yang menuntunmu melihat kesalahan sebagai kesalahan dan bahwa ada konsekuensi atas kesalahan dan bahwa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dalam pertobatan! Kami mengasihimu, MA!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun