Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dua Alat Bukti: Dari Dalil Sesat Pikir Kuasa Hukum BG ke Putusan Sesat Pikir Hakim Sarpin Rizaldi

21 Februari 2015   17:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sudah membahas dua poin putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam tulisan terdahulu. Saya berargumentasi bahwa dua poin putusan itu merupakan sesat pikir (special pleading fallacy). Dalam anotasi lanjutan dari perspektif logika ini, saya akan membahas satu poin putusan yang lain, yaitu poin mengenai dua alat bukti KPK.

Shifting the burden of proof

Perdebatan mengenai dua alat bukti yang mendasari penetapan tersangka bagi BG berawal dari lontaran dalil praperadilan dari kuasa hukum BG. Kuasa hukum BG mengklaim bahwa KPK tidak memiliki dua alat bukti tersebut.

Oleh karenanya Termohon I (maksudnya KPK) harus dituntut di persidangan ini untuk menjelaskan secara rinci bukti-bukti dimiliki sebagai dasar penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.


Perlu diingat bahwa diktum penting dalam logika maupun dalam hukum adalah "Barangsiapa yang melontarkan klaim, dialah yang harus membuktikan klaimnya".

Klaim bahwa KPK tidak memiliki alat-alat bukti yang sah untuk penetapan tersangka dilontarkan oleh pihak BG. Artinya, beban pembuktian (the burden of proof) harus ada di pihak BG, bukan KPK. Konyolnya, kuasa hukum BG mengklaim bahwa tidak ada alat-alat bukti yang sah, lalu mereka menuntut KPK untuk menjelaskan secara rinci bukti-bukti tersebut.

Singkatnya, dalil di atas merupakan dalil sesat pikir, yaitu: shifting the burden of proof fallacy! Beban pembuktian yang harusnya ada di pihak BG dilimpahkan kepada KPK.

Argumentum ad ignorantiam

Praperadilan pun digelar untuk membuktikan dalil sesat pikir di atas. KPK melalui saksi fakta dan keterangan ahli, mengklaim bahwa mereka memiliki alat-alat bukti yang sah untuk penetapan tersangka bagi BG, hanya saja mereka MENOLAK untuk memperlihatkan itu kepada hakim praperadilan. Dan memang, alat-alat bukti itu tidak berwewenang diuji di praperadilan!

Konyolnya, hakim Sarpin Rizaldi malah mengetok palu bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan harus dibatalkan karena unsur pembuktian lemah atau karena tidak memiliki bukti yang kuat.

Saya akan menerjemahkan putusan di atas ke dalam bentuk formal sebuah argumen:


  1. Harus ada alat-alat bukti sah untuk penetapan tersangka (premis asumptif).
  2. KPK mengklaim ada alat-alat bukti tersebut (premis).
  3. KPK menolak memperlihatkan alat-alat bukti tersebut di praperadilan (premis).
  4. Alat-alat bukti itu tidak dipastikan keberadaan serta validitiasnya (premis implisit dari premis no. 3)
  5. Sarpin: Unsur pembuktian lemah (konklusi).


Sebelum melanjutkan, saya ingin menjelaskan dua kriteria penting dalam menilai sebuah argumen, yaitu:


  1. Validitas argumen: Kesimpulannya diharuskan oleh premis-premisnya.
  2. Soundness of the argument: Baik premis-premis maupun kesimpulannya benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun