Saya percaya, KPK akan memenangkan sidang praperadilan yang putusannya akan dibacakan pada hari Senin besok (16/2/2015; baca di sini). Maka, saatnya kita bicara tentang sebuah isu penting sebagai antisipasi jika atas dasar putusan tersebut Jokowi membatalkan pelantikan BG.
Beberapa waktu lalu, salah seorang pengacara BG, Maqdir Ismail, meresponsi desas-desus bahwa Jokowi akan membatalkan pelantikan BG dengan menyatakan bahwa jika Jokowi melakukan hal itu, Jokowi melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Seperti yang diberitakan di Kompas.com,
Maqdir menanyakan, alasan apa yang bisa digunakan oleh Presiden untuk mengubah sesuatu yang sudah diamanatkan oleh undang-undang (sumber).
Tersiar juga berita bahwa kuasa hukum BG akan menggugat Jokowi jika membatalkan pelantikan BG. Sebuah desas-desus yang ditanggapi pakar hukum tata negara, Refly Harun, sebagai sesuatu yang tidak berdasar (sumber). Sebelumnya, opini sebaliknya dikemukakan oleh pakar hukum dan tata negara, Irman Putrasidin, bahwa Jokowi memang harus melantik BG (sumber).
Saya tidak berbicara dari aspek hukum per se. Itu bukan bidang saya. Namun, sampai di sini, mereka semua berbicara tentang keharusan hukum dari satu sisi yaitu hukum positif, yang nyatanya ditafsirkan secara kontradiktif seperti yang terlihat pada konklusi antar-pakar dalam bidang ini di atas. Ya kontradiktif, bukan sekadar berbeda!
Pertanyaan yang terabaikan di kepala kuasa hukum BG ketika mengajukan pertanyaan di atas adalah apakah validitas pembatalan pelantikan BG hanya soal kesesuaian dengan hukum positif saja?
Mari kita bicara dalam konteks yang lebih luas terlebih dahulu. Sebuah peradaban yang beradab, tidak pernah hanya diatur dan dijalankan berdasarkan hukum positif saja. Ada aturan-aturan lainnya, salah satunya yang sangat fundamental juga adalah moral law (hukum-hukum moral).
Dalam detailnya, hukum-hukum moral memang diajarkan secara berbeda dalam agama-agama dunia. Tetapi ada garis besar hukum moral yang umumnya mengategorikan tindakan-tindakan tertentu itu inherently salah. Misalnya, mencuri, memperkosa, berselingkuh, dan juga penting untuk disebutkan di sini, korupsi!
Seperti yang sudah saya kemukakan dalam tulisan saya berjudul: Argumen Moral Menolak Pelantikan BG, kasus korupsi yang disangkakan kepada BG saat ini, bukan hanya legal issue, melainkan juga merupakan moral issue atau ethical issue. Dan pandangan ini telah dipertahankan oleh banyak pakar, salah satunya adalah Hartmut Kreikebaum yang saya kutip dalam tulisan tersebut.
Stephen Schwenke (University of Maryland) secara gamblang memperlihatkan dimensi moral dari korupsi yang sering terabaikan dalam diskusi mengenai kejahatan ini. Ia menandaskan keprihatinannya, demikian:
The moral aspect of the phenomenon of corruption are avoided, deflected or diminished by many, including some of the leading writers on the subject. Instead, the cultural, economic, political, and institutional approaches to the analysis of the corruption features prominently in the literature. Leading thinkers on the subject fail to grasp even the cross-cutting and integratives capabilites that the moral dimension offers in the context of the comprehensive analysis.
Namun kemudian, Schwenke mengakhiri risetnya dengan menandaskan, "Corruption is essentially an ethical problem...".
Saya sengaja merujuk kepada riset Schwenke karena darinya ada dua poin penting yang dapat ditarik di sini:
- Korupsi adalah masalah multi-dimensi, walau yang mayoritas disorot berkait isu ini adalah dimensi: politik, ekomoni, hukum, dan budaya.
- Namun, telah muncul kesadaran yang mengemuka bahwa dimensi moral dari korupsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diskusi mengenai isu ini.