[caption id="" align="aligncenter" width="436" caption="http://blog.talkingidentity.com/"][/caption]
Fenomena penggunaan akun yang bukan nama sebenarnya merupakan fenomena keseharian di berbagai media. Kompasiana sendiri bisa dikatakan sangat banyak orang membuat akun dengan mencantukan bukan nama sebenarnya. Termasuk juga mereka yang sudah terverifikasi.
Karena mengetik postingan ini menggunakan ponsel, saya hanya ingin menyorot sebuah isu yang sangat spesifik. Isu itu adalah terminus technicus (istilah teknis) yang representatif untuk fenomena yang saya singgung pada paragraf di atas.
Untuk jelasnya, saya tidak menyorot perspektif moralnya: apakah penggunaan nama yang bukan sebenarnya memiliki justifikasi moral atau tidak. Saya juga tidak menyorot alasan mengapa orang cenderung menggunakan bukan nama sebenarnya sebagai nama akun. Perspektif-perspektif ini bisa dibahas lain kali.
Pertanyaan spesifik yang akan saya jawab di sini, sekali lagi, sebutan apakah yang tepat bagi akun-akun yang tidak mencantumkan nama pengguna yang sebenarnya?
Menariknya, dalam perbincangan di kolom komentar maupun dalam postingan-postingan, saya menemukan orang cenderung menggunakan istilah "akun anonim" untuk akun-akun yang tidak menggunakan nama penggunanya yang sebenarnya.
Singkat saja, penggunaan terminus technicus "anonim" untuk fenomena di atas adalah sebuah salah kaprah linguistik.
Anonimitas (anonimity) adalah fenomena di mana, mis. orang menulis sesuatu tanpa mencantunkan nama penulisnya sama sekali. Fenomena seperti ini sudah sejak masa lampau. Contoh terklasik untuk fenomena anonimitas adalah Kitab-kitab Injil Kanonik (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes). Kitab-kitab ini dalam manuskrip-manuskrip tertuanya - bahkan dalam autografnya (naskah aslinya) - tidak mencantumkan nama penulisnya sama sekali. Di kemudian hari, dalam manuskrip-manuskrip abad kedua dan ketiga, barulah tercantum nama penulisnya sekaligus sebagai judul dari kitab-kitab ini.
Itulah yang disebut sebagai fenomena anonimitas. Jadi jelas bahwa akun-akun yang menggunakan bukan nama pengguna yang sebenarnya tidak dapat disebut akun-akun anonim!
Selain fenomena anonimitas, ada sebuah fenomena lain sejak masa lampau yang dikenal dengan sebutan fenomena pseudonimitas (pseudonimity).
Pseudonimitas sangat popular pada abad pertama hingga paling tidak abad kelima atau abad keenam Masehi. Misalnya, dalam penemuan Naskah-naskah Nag Hamadi (thn. 1945), ditemukan puluhan naskah dari abad kedua hingga abad keenam Masehi yang menggunakan nama orang lain sebagai penulis naskah-naskah tersebut.