Rekan Kompasianer, Edi Abdullah, menayangkan tulisan berjudul: Kontroversi Menghina Melalaui #SaveHajiLulung, Balasannya Masuk Neraka dan Masuk Penjara. Tulisan tersebut pada dasarnya bernada mengingatkan soal kesan yang menurut Edi menghina Haji Lulung melalui hastag #SaveHajiLulung.
Tulisan di atas menyentuh dua bidang yang berbeda, bidang teologis dan bidang hukum. Saya tidak memasuki warnings pada bidang teologis. Itu bidang intern yang tidak pada tempatnya saya bahas di sini. Saya hanya tergelitik soal bidang hukum yang diacu oleh rekan Edi untuk peringatan bermuatan ancaman penjara terhadap tweets soal Haji Lulung melalui hastag di atas.
Acuan hukumnya, menurut rekan Edi, adalah UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE pasal 27 ayat 3. Saya membaca UU tersebut dan tidak mendapati koneksi spesifik yang mendukung poin rekan Edi bahwa tweets pada hastag di atas dapat dikenai ancaman sebagaimana yang terdapat pada UU tersebut.
Natur dari tweets tersebut adalah kelakar (humor) yang bernada ironis terhadap kata-kata Haji Lulung sendiri yang menyatakan: "Saya meludah aja jadi duit." Kata-kata ini, kemudian dijadiin bahan kelakar dan for sure saya melihat ada unsur logic di dalam kelakar-kelakar tersebut.
Unsur logic yang saya maksudkan adalah perpaduan antara reductio ad absurdum dan analogi. Ringkasnya orang menggunakan analogi sambil memperlihatkan absurditas kata-kata Haji Lulung untuk mengintonasikan unsur humornya.
[caption id="attachment_354834" align="aligncenter" width="541" caption="Contoh-contoh tweets di atas jelas analogis dengan kata-kata Haji Lulung sambil terintonasi unsur humor sekaligus ironinya"][/caption]
Dalam definisi dan elaborasi mana pun, saya tidak melihat ada unsur penghinaan di situ yang membuat fenomena di atas dapat terkategori sebagai pelanggaran terhadap UU di atas.
Akhirnya, terkait isi artikel rekan Edi tersebut, saya ingin memberikan tiga catatan penutup.
Pertama, menampilkan sebuah UU dengan klaim bahwa ada pelanggaran terhadap UU tersebut tanpa memperlihatkan elaborasi serta inferensi logis yang memperlihatkan koneksinya, merupakan sebuah upaya yang tidak logis. Dalam logika, itu dapat terkategori sebagai sesat pikir yang bernama: proof by assertion.
Memperlihatkan elaborasi dan inferensi logis antara sebuah dasar hukum dengan sebuah kasus itu penting karena hukum itu sendiri tidak selalu bersifat membuktikan dirinya sendiri (proof itself) tatkala digunakan dalam sebuah kasus. Dalam kasus seperti ini, unsur penghinaan yang diatur dalam UU tersebut bersifat tafsiran. Maka adalah kewajiban logis bagi rekan Edi untuk memperlihatkan bagian mana di dalam tweets tersebut yang mengandung hinaan. Tanpa hal ini, klaim tersebut hanyalah sebuah proof by assertion.
Kedua, tulisan rekan Edi dengan acuan hukum serta konsekuensinya mestinya tidak bisa tidak mengandung ancaman di dalamnya. Fitur ancaman ini, jika dikemukakan tanpa argumen, dan memang saya tidak melihat argumen di dalamnya, terindikasi mengidap sesat pikir yang lain bernama: argumentum ad baculum. Sesat pikir ini terjadi ketika orang mengajukan ancaman tanpa argumen logis seakan-akan dengan ancaman itu, ia dapat memenangkan case-nya tanpa argumentasi logis yang memperlihatkan relevansi dari ancaman tersebut dengan isu yang dibahasnya.