Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemaknaan Kata "Diskriminasi" yang Kebablasan: Human Right atau Human Wrong?

11 Februari 2014   04:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:57 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13920673371821984062

[caption id="attachment_294849" align="aligncenter" width="475" caption="Sumber: http://www.niyf.org/wp-content/uploads/2013/09/no-discrimination-picture-.gif"][/caption]

Dalam beberapa postingan terdahulu juga dalam sejumlah komentar di lapak beberapa teman di Kompasiana, saya menyatakan bahwa bahasa itu elastis. Pemaknaan terhadapnya selalu mengalami perubahan, dalam pengertian ada penambahan rentang semantik yang baru. Itulah sebabnya, berupaya memahami istilah-istilah kunci dalam sebuah tulisan, harus dilakukan dengan cermat untuk dimaknai dalam konteks maksud penulisnya. Jangan sampai kita imposing(mengenakan) makna umum dari kata kunci yang bersangkutan, padahal si penulis menggunakannya dalam makna yang berbeda.

Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa setiap perubahan makna semantik itu terjadi secara "benar". Saya memberi tanda kutip untuk istilah "benar" karena ada kosakata-kosakata tertentu yang mengandung nilai-nilai (mis. nilai etis, religius) atau bahkan pemahaman filsafati di dalamnya.

Makna Kata "Diskriminasi": Dulu dan Sekarang


Kata "diskriminasi", misalnya. Kata ini, di masa lampau digunakan dalam arti suatu kecakapan atau kemampuan yang cerdas untuk membedakan sesuatu secara detail dari sesuatu yang lain. Misalnya, orang yang mampu membedakan sebuah lukisan yang asli dari sang maestro dengan lukisan tiruannya, betapa pun lukisan tiruan itu dibuat sedemikian miripnya, berarti orang tersebut memiliki kemampuan diskriminasi artistik. Juga, katakanlah ada orang yang memiliki kecakapan untuk membedakan dua istilah yang kelihatannya sinonim serta mampu memperlihatkan perbedaan cakupan semantiknya, berarti orang tersebut memiliki kemampuan diskriminasi linguistik. Satu contoh lagi, ada orang yang memiliki kecakapan untuk mencermati muatan etis di balik sebuah jargon, berarti orang tersebut memiliki kemampuan diskriminasi etis. Gagasan inti dari kata "diskriminasi" adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan pembedaan - entah dalam konteks apa pun. Singkatnya, menggunakan kata "diskriminasi" bagi seseorang di masa lampau, berarti memberikan pujian yang tinggi kepada orang tersebut.

Tetapi, hari ini kata "diskriminasi" digunakan dengan makna yang sama sekali bertolak belakang dengan pemaknaan di atas. Hari ini, ketika seseorang dikatakan melakukan "diskriminasi", berarti menyatakan bahwa orang tersebut melakukan suatu kejahatan atau setidaknya melakukan suatu kesalahan yang patut dicela.

Sebenarnya secara umum, peralihan pemaknaan kata "diskriminasi" pada paragraf di atas kelihatannya tidak masalah. Tetapi, kita harus hati-hati, karena dalam konteks tertentu, penggunaan kata "diskriminasi" dalam arti negatif di atas, merupakan penggunaan yang kebablasan.

Human Right or Human Wrong?

Misalnya, kita mengetahui bersama bahwa di beberapa negara, mis. di Amerika dan Belanda, kaum Homoseksual menyerukan kepada publik supaya mereka tidak didiskriminasi oleh publik. Artinya, mereka tidak dipandang sebagai "kelas" yang "berbeda" dari kaum heteroseksual. Mereka ingin mendapatkan perlakuan yang "sama". Sebenarnya bukan hanya perlakuan yang sama, tetapi lebih dari itu, esensinya adalah perjuangan agar homoseksualitas itu sendiri dipandang sebagai sesuatu yang tidak salah. Maksudnya, jika heteroseksualitas dipandang benar, maka homoseksualitas pun ingin mendapat status pengakuan yang sama dengan heteroseksualitas. Inilah yang dimaksud dengan tidak "dibedakan" atau "didiskriminasi".

Di Indonesia sendiri, tayangan-tayangan TV dengan peran "kewanita-wanitaan" cukup marak. Saya khawatir, kita sedang diindoktrinasi oleh tayangan-tayangan tersebut, agar secara perlahan namun pasti menganggap hal itu sebagai sesuatu yang "wajar" [dengan tanda kutip] pada awalnya, kemudian menjadi sama sekali wajar [tanpa tanda kutip lagi] pada akhirnya. Publik diindoktrinasi untuk kehilangan kemampuan "diskriminasi" [membedakan secara cermat] mana pria dan mana wanita. Wanita bisa jadi pria, pria bisa jadi wanita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun