Setelah dua terpidana mati asal Australia dalam kasus "Bali Nine" dipindahkan ke Nusakambangan, trending issue di media-media online hari ini adalah protes dari berbagai pihak soal ketetapan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk tetap mengeksekusi mati Rodrigo Gularte, asal Brazil (sumber). Saya sepakat dengan protes tersebut dan ikut menyerukan kepada Jokowi untuk membatalkan eksekusi mati terhadap Rodrigo.
Seperti yang dilansir dalam sejumlah media online, rekam diagnosis medis dari Rodrigo sangat jelas membuktikan bahwa Rodrigo menderita gangguan kejiwaan (paranoid schizophrenia). Selain ada keterangan dari psikiater asal Brazil, gangguan kejiwaan yang diidap Rodrigo juga dikonfirmasi oleh Kusuma Waradhanis (ahli psikiater forensik dari Universitas Gadjah Mada) di mana pendapat ini disahkan RSU Cilacap (sumber).
Tidak heran, Amensty International meminta Jokowi untuk mempertimbangkan ulang penolakan pemberian grasi yang tidak dilakukan kasus per kasus (sumber). Seruan ini valid dan harus didengarkan oleh Jokowi. Artikel 14 dan 15 ICCPR yang mengatur tentang Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty merupakan dasar yang valid untuk seruan tersebut. Pada butir ke-3 dari trakat internasional ini, tertulis demikian:
Persons below 18 years of age at the time of the commission of the crime shall not be sentenced to death, nor shall the death penalty be carried out on pregnant women, or on the new mothers or on persons who have become insane.
Memang, jika kita mencermati data para terpidana mati yang menderita gangguan kejiwaan namun tetap dieksekusi mati di Amerika, daftarnya lumayan panjang sejak tahun 1999. Bahkan pada tanggal 15 Januari 2015, di Amerika baru saja dieksekusi mati salah seorang terpidana mati yang menderita gangguan kejiwaan seperti yang terdapat pada tabel di bawah ini:
[caption id="attachment_354248" align="aligncenter" width="532" caption="Diolah dari: http://www.deathpenaltyinfo.org/mental-illness-and-death-penalty"][/caption]
Meski begitu, saya berharap Jokowi tidak menambah daftar eksekusi arbitrer di atas yang sangat jelas melanggar ketentuan safeguards dalam hukum internasional.
Salam Kompasiana!
Catatan: Mengenai apa yang dimaksud dengan eksekusi arbitrer, telah saya tulis di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H