Dalam artikel kemarin, saya sudah membahas tentang tiga pandangan mengenai hukuman mati: abolisionisme, eksepsionalisme, dan restriktivisme. Di perlihatkan di situ bahwa meskipun abolisionisme merupakan pandangan mayor saat ini, namun ini berlangsung secara gradual. Menurut sejarahnya, gerakan penghapusan hukuman mati digagas oleh Cesare Beccaria (1764) dalam sebuah risalahnya yang berjudul:Â Dei delitti e delle pene (Mengenai Kejahatan-kejahatan dan Hukuman-hukuman). Artinya, ini adalah perjuangan yang sudah berlangsung lebih dari 200an tahun. Hukuman mati, selain dianggap bertentangan dengan hak inheren individu untuk hidup, selalu dibombardir dengan kritikan-kritikan tajam terkait tujuan (objectives) pelaksanaannya.
Artikel ini dimaksudkan untuk membahas tiga teori mengenai tujuan pelaksanaan hukuman mati kemudian saya akan mempertimbangkan posisi Indonesia, khususnya polemik yang akhir-akhir ini memanas terkait eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkoba, dalam terang teori-teori ini.
Tiga teori
Di dalam hukum kriminal (criminal law) terdapat sejumlah teori mengenai tujuan hukuman (punishment) yang tiga di antaranya adalah: Teori absolut (teori retributif); teori relatif (teori preventif), dan teori unitarian.
Pertama, menurut teori absolut atau teori retributif, sebuah kejahatan pada dirinya sendiri (a crime itself) mengandung elemen-elemen yang menyaratkan prosekusi dan karenanya menjadi dasar dari penghukuman atas kejahatan tersebut.
Teori ini bisa dibagi lagi menjadi dua variasi, yaitu: a) retribusi subjektif yaitu retribusi yang diarahkan kepada kejahatan karena dianggap sebagai sesuatu yang hina/keji; dan b) retribusi objektif di mana retribusi itu semata-mata diarahkan kepada kejahatan yang sudah dilakukan.
Kedua, teori preventif atau teori relatif percaya bahwa penghukuman diperlukan dalam rangka memelihara keteraturan tatanan publik. Tujuan dari penghukuman adalah untuk mencegah (to prevent) munculnya kejahatan. Secara umum, upaya prefentif ini dimaksudkan agar setiap orang tidak merusak tatanan keteraturan dalam masyarakat, dan secara khusus mencegah para pelaku kejahatan untuk tidak melakukan lagi kejahatan di kemudian hari. Biasanya aspek: korektif, remedial, dan rehabilitasi dibicarakan dalam terang teori ini.
Dalam terang teori prefentif di atas, muncul sebuah teori spesifik yang lain yang disebut dengan the deterrence theory. Kita bisa menyebutnya "teori efek jera" karena menurut teori ini, hukuman dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut yang mencegah orang-orang untuk melakukan kejahatan lagi di kemudian hari.
Dan ketiga, teori unitarian merupakan kombinasi dari kedua teori di atas.  Teori ini percaya bahwa penghukuman dilakukan atas tujuan objektif (teori objektif) sekaligus untuk memelihara tatanan keteraturan dalam masyarakat (teori prefentif).
Posisi Indonesia
Berkait kasus "Bali Nine" eksekusinya mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak hingga kini, umumnya penolakan terhadap eksekusi mati tersebut lebih condong diarahkan kepada "teori efek jera" di atas. Mereka berargumentasi bahwa hukuman mati tidak membawa "efek jera" sebagaimana yang diharapkan. Berbagai studi sudah dilakukan bahwa efek jera tidak pernah menurutnkan prosentasi kejahatan. Spesifiknya di sini, menghukum mati para terpidana mati kasus narkoba tersebut, tidak akan banyak faedahnya jika ditinjau dari teori efek jera. Dan mereka benar!