Kasus "Bali Nine" yang rasanya masih hangat hingga kini, menyisakan polemik yang juga rasanya tak bakal definitif. Mereka yang menolak hukuman mati (abolitionist) berargumentasi bahwa hukuman mati tidak membuka peluang bagi aspek remedial dari pihak para terpidana. Asumsinya penjara dapat menjadi alat remedial bagi para terpidana tersebut. Diharapkan, nantinya mereka menjadi lebih baik.
Di samping saya tidak setuju dengan argumentasi di atas untuk kasus-kasus tertentu, saya percaya bahwa hukuman mati valid untuk the most serious crimes, kenyataan di berbagai lapas juga ikut "membantah" harapan baik di atas. Mari kita simak sejumlah fakta sederhana di bawah ini (2012-2015):
- Pada tahun 2012, Kementrian Hukum dan Ham menyusun draft peraturan menteri yang mengatur tentang kepemilikan alat-alat elektronik di kalangan para napi di lapas-lapas. Drat ini dipicu oleh kenyataan bahwa para napi, entah bagaimana caranya, memiliki HP, laptop, modem, AC, dsb., di lapas-lapas (sumber).
- Pada tahun 2013, Ketua KPK saat itu, Abraham Samad berceloteh bahwa para napi bebas keluar masuk lapas dan berjalan-jalan ke mal-mal. Sidak yang dilakukan di lapas Sukamiskin (18 Mei 2013), lapas khusus untuk para koruptor menghadirkan fakta mengenai keberadaan barang-barang elektronik di atas (sumber).
- Pada bulan Agustus 2014, Kompas.com menayangkan sebuah reportase mengenai kenyataan buruk di lapas-lapas di mana para petugas lapas membuka "jasa" penyewaan HP dengan tarif-tarif tertentu bagi para napi (sumber).
- Pada penghujung tahun 2014, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Handoyo Sudradjat mengakui kemungkinan keterlibatan petugas lapas dalam masuknya barang-barang ilegal ke rumah tahanan. Pengakuan ini dilontarkan setelah penyidakan yang dilakukan di sejumlah lapas. Para petugas yang melakukan penyidakan itu, menemukan 250 barang ilegal di sejumlah rutan di Jakarta. Razia petugas di 7 lapas di DKI Jakarta, ditemukan: 213 telepon seluler, 65 charger, 1 power bank, 1 music box, 19 senjata tajam, 1 modem, 2 laptop, 2 tv mini, 1 dvd player, dan 2 buah kompor. (sumber).
- Pada awal tahun 2015, muncul pernyataan dari Badan Narkotika Nasional bahwa 60 % bisnis narkoba dikendalikan dari dalam penjara (sumber).
Rasanya tak perlu diulang-ulang di sini bahwa kepemilikan barang-barang ilegal tersebut di atas merupakan kenyataan pahit yang semakin jelas memperlihatkan kemandulan fungsi remedial dari penjara.
Kenyataan tersebut di atas memperlihatkan bahwa fungsi remedial dari hukuman penjara ibarat utopia yang mungkin tak kunjung terealisasi. Pemerintah gagal menjadikan penjara sebagai alat remedial!
Di samping itu, kenyataan di atas sekaligus menandai prinsip filsafati yang saya yakin ada sisi benarnya. Prinsip filsafati itu berbunyi demikian: "People don't really change, they reveal who they really are". Juga sebuah adagium lama berbunyi demikian: "A leopard can’t change his spots."
Tentu para ahli psikologi percaya sebaliknya. Dan ini pun ada benarnya untuk kasus-kasus tertentu. Poin saya adalah dengan kondisi lapas-lapas seperti di atas yang sepertinya memang sulit diberantas, apakah fungsi remedial itu sendiri terkondisi untuk terjadi di berbagai lapas di Indonesia? Menyedihkan memang, tapi sulit untuk menjawab secara positif bagi pertanyaan ini!
Berkaca pada fakta-fakta di atas, lagi-lagi saya tergelitik untuk bertanya, jangan-jangan pula yang rajin posting-posting di Kompasiana dan paling banyak berkomentar justru merupakan salah satu dari para napi yang mencari kompensasi dari kondisi keterasingannya yang terkutuk di dalam lapas? Entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H