Jika Anda pernah membaca buku berjudul Wasted: A Memoir of Anorexia and Bulimia, Anda pasti mengetahui informasi yang sangat inspiratif sekaligus memilukan mengenai penulisnya, Marya Hornbacher. Buku ini merupakan autobiografi Hornbacher yang menurut banyak pembaca merupakan buku autobiografi yang sangat menyentuh dan menyusupkan pesannya dengan cerdik dan cerdas hingga ke sumsum. Di bagian cover depan buku tersebut, Dorothy Allison menulis endorsment singkat berbunyi demikian: “Wasted is a book that can saved lives.” Saya sendiri menganggap bahwa penilaian ini tidak berlebihan ketika membaca buku tersebut dalam sebuah perjalanan udara.
Bercermin Pada Pengalaman Hornbacher
Wasted mengisahkan tentang penderitaan Hornbacher yang mengidap bulimia dan anoreksia. Penyakit-penyakit ini bukannya datang tanpa “diundang”. Sejak kecil, ia menganggap dirinya terlampau gemuk. Sebuah vonis diri yang mendorongnya berupaya keras menurunkan berat badannya. Sebuah tekad yang membawanya harus masuk keluar rumah sakit akibat terserang bulimia dan anoreksia. Namun, itu belum membuatnya menghentikan keinginan yang non sense itu. Bahkan ketika pada usia delapan belas tahun ia hampir mati karena berat badannya hanya tersisa 27 kilogram, ia tetap meneruskannya. Sebuah keinginan kuat akan keindahan tubuh yang “ideal”, membuat jantung, otot-otot dan esofagusnya menjadi rusak sehingga ia harus hidup dalam pengawasan yang super teratur dari dokter.
Hornbacher bukan hanya mengisahkan sebuah kisah nyata yang sangat tidak masuk akal di atas. Ia juga melontarkan kritikan-kritikan terhadap kultus budaya yang telah menanamkan semacam konsep serta semangat “ideal” mengenai keindahan tubuh. Melalui Wasted, Hornbacher membabat dengan tajam obsesi yang lazimnya dimiliki kaum Hawa untuk memiliki kelangsingan tubuh. Rasanya, bagi mereka, tidak ada hal besar yang perlu diributkan dan dikejar selain tubuh yang langsing. Entah untuk “apa”.
Wasted mengarahkan palu kegeramannya kepada industri gaya busana serta filsafat feminim ala langsing yang dengan gencar dimenduniakan oleh industri tersebut. Baginya, “absurditas” bukan sekadar sebuah kata yang dapat kita temukan dalam kamus – ia adalah sebuah kata yang tepat menggambarkan nilai pemujaan akan kelangsingan tubuh yang hampir tanpa kritikan sama sekali. Banyak orang berbondong-bondong menuju pemujaan itu seakan-akan tak ada lagi nalar yang bercokol di kepala mereka.
Pergilah ke pusat-pusat perbelanjaan dan Anda akan menemukan bahwa Hornbacher tidak sekadar menumpahkan penyesalan dalam bentuk serangan membabi-buta. Tidak sama sekali. Lihatlah, patung-patung kurus tempat busana-busana feminim itu menggelantung. Tak akan pernah mata Anda terbentur pada sebuah patung gemuk. Carilah dan bawalah ke sini jika Anda menemukannya. Semuanya serba langsing.
Maka, kaum Hawa berbondong-bondong menjadi pemuja patung kurus itu, bahkan untuk pemujaan itu mereka harus menghabiskan banyak uang dan mengalami kondisi fisik yang menyakitkan. Untuk apa? Untuk sebuah label sebagai pemuja patung langsingkah? Astaga!!
Panggilan untuk Bercermin
Saya tidak menuliskan ini sekadar sebagai sebuah kritikan. Ya, ini memang sebuah kritikan dan saya tidak perlu menjadi sok tidak mengkritik dengan bersembunyi di balik “gak mengkritik lho” padahal emang mengkritik.
Namun, esensinya bukan di situ. Esensinya adalah sebuah panggilan untuk bercermin. Tidak tahukah Anda bahwa bagi “mata lelaki”, tubuh yang berisi dan sintal merupakan sebuah dambaan normal? Setidaknya ini menurut selera saya walau memang pernah ada studi yang mengafirmasi pertanyaan retoris ini. Mengapa justru menciptakan sebuah dambaan khayalan lalu berpikir seakan-akan kelangsingan adalah standar kesenangan bagi para lelaki dan Anda tenggelam seperti berdiri dalam lumpur hidup bersama dambaan khayalan itu?
Tunggu dulu. Mungkin Anda berguman, “Bukan buat para lelaki koq. Ini kesenangan saya.” Baiklah, tetapi Anda tidak mungkin bisa berkata bahwa “para lelaki” menjadi terelimasi sama sekali dari bayangan Anda ketika Anda berdiri di depan cermin dan menatap tubuh Anda di sana. Lagi pula, bukankah seorang wanita mendambakan dirinya menjadi pujaan para lelaki? Silakan menjawab tidak. Tetapi saya tetap mengafirmasi pertanyaan ini dengan “YA” [dengan huruf kapital].
Penerimaan adalah Esensinya
Mungkin Anda bertanya: “Bagaimana dengan engkau sendiri dalam menilai istrimu?” Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya sekadar ingin menginformasikan bahwa istri saya sering membaca postingan-postingan di Kompasiana melalui akun saya. Dan saya mempersilakannya tanpa ragu sedikit pun untuk mengomentari tulisan ini jika yang saya tulis adalah sebuah kepalsuan belaka mengenai sikap saya terhadapnya.
Dengan tinggi badan 173 CM dan berat badan 68 kilogram [dulu 66 kilogram maka saya sering mencandainya dengan sebutan “angkatan 66”], menurut istri saya dulu, bukanlah berat badan yang ideal – ya, tidak ideal menurut standar pemujaan patung kurus di atas. Dan saya harus memakai banyak sekali waktu untuk menghentikannya berjuang untuk memenuhi standar ideal ala patung kurus itu.
Kini, dia tidak lagi mempersoalkan itu. Baginya, penerimaan saya sepenuhnya akan kondisi fisiknya, entah dalam kondisi apa pun itu, merupakan segala-galanya. Dia tidak perlu berjuang lagi menjadi pemuja setia patung kurus itu. Makanan apa pun yang ada di hadapannya, “dihajar” hingga tuntas, tentu dalam taraf-taraf yang tidak berbahaya bagi kesehatannya. Dan saya, suaminya, menikmati itu sebagai sebuah keindahan. Jauh lebih indah daripada ia menjadi seorang pemuja patung kurus.
Kami berdua hingga kini dan seterusnya melihat bahwa penerimaan adalah esensinya. Bukan keindahan. Keindahan bisa diibaratkan seperti ornamen saja. Dan alangkah ironisnya bila pementingan akan ornamen jauh melampaui pementingan akan substansinya.
Yakinlah...bila seseorang mengasihi, mencintai, dan menyayangi Anda..maka Anda adalah orang yang sangat cantik di matanya [keindahan ada di mata orang yang melihatnya, bukan?]. Dan jangan pernah mempercayakan diri dan hidupmu kepada seseorang yang menyatakan jika engkau begini, maka aku akan mencintaimu. Cinta itu seharusnya unconditional. Maka yang tepat adalah sekalipun engkau begini/begitu, aku akan tetap mencintaimu.
“I, ____, take you, ____, to be my lawfully wedded (husband/wife), to have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, until death do us part” [Marriage Vows].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H