Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Twitter sebagai Referensi Tulisan?

4 Agustus 2014   13:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:28 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://marketingland.com/wp-content/

[caption id="" align="aligncenter" width="570" caption="http://marketingland.com/wp-content/"][/caption]

Saya mengetik tulisan ini menggunakan ponsel jadi tidak detail. Saya sedang terpikir untuk mengajak kita mempertimbangkan sebuah perspektif metodologis, bisa disebut begitu saya kira, mengenai pemanfaatan "kicauan" di Twitter dalam menulis opini (bedakan dari reportase).

Kita mengetahui bahwa orang tidak dapat mengetik terlalu banyak kata-kata di sebuah "kicauan" Twitter. Paling banyak, sepengetahuan saya adalah 140 karakter. Dengan limit kata-kata seperti ini, orang hanya dapat mem-posting inti klaim (jika itu menyangkut sebuah isu penting), tanpa menyertakan alasan-alasan (argumen). "Tanpa" di sini berkait dengan limit posting-an.

Dalam keterbatasan di atas, ketika seseorang (umumnya public figure) mem-posting "kicauan" lalu kita menjadikannya referensi, entah itu dalam bentuk persetujuan atau "sasaran tembak", opini yang kita bangun sebenarnya cacat metodologis. Mengapa?

Ingat bahwa ada dua prinsip penting yang relevan di sini untuk disebutkan dalam hal menjadikan sebuah pernyataan sebagai referensi.

Pertama, prinsip yang disebut the principle of clarity (prinsip kejelasan). Prinsip ini bila diimplementasikan dalam konteks ini berarti bahwa ada kejelasan klaim sekaligus argumen dari sumber yang kita kutip sebagai rujukan. Bila tidak begitu, kita akan cenderung "memasukkan kata-kata ke dalam mulut" sumber yang kita rujuk.

Dan kedua, prinsip yang disebut the principle of charity (prinsip kemurahhatian). Prinsip ini, bila diimplementasikan dalam konteks ini, berarti kita mempresentasikan ulang gagasan dari sumber yang kita rujuk dalam versi terkuatnya (the strongest version) yang paling mungkin mewakili totalitas maksud sumber yang kita rujuk. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi jika yang terbaca dalam "kicauan" itu begitu terbatas?

Yang sering terjadi adalah jika menyangkut sebuah isu penting, lalu yang "berkicau" adalah orang-orang penting, maka secara berjamaah, kita menjadikannya acuan untuk membangun opini publik melalui artikel. Saya kira banyak artikel seperti itu di Kompasiana. Padahal kedua prinsip penting di atas seharusnya membuat kita menahan diri untuk membuat rujukan semata-mata dari "kicauan" pendek yang ada di akun Twitter figur yang kita rujuk.

Pada sisi practical wisdom-nya, mengingat tendensi di atas juga, saya kira para public figure harus bisa membatasi diri untuk tidak "berkicau" soal isu-isu penting apalagi isu-isu sensitif. Hal ini dimaksudkan agar membatasi kesalahpahaman yang bisa saja terjadi, termasuk berpotensi besar meluaskan opini negatif di tengah-tengah publik terhadap diri mereka sendiri.

Saya ingat, beberapa waktu lalu, ketika isu Boko Haram begitu ramai dibicarakan, Pak Menteri Tifanul Sembiring "berkicau" tentang hal itu dan imbasnya ia di-bully secara berjamaah di internet. Juga, beberapa waktu lalu, "kicauan" [palsu?] dari Ahmad Dani soal potong kemaluan kalau Jokowi kalah yang juga menuai hal serupa. Belakangan, ketika Jokowi sudah hampir pasti menang, baru Ahmad Dani "gemetaran" membuat klarifikasi bahwa "kicauan" itu bukan berasal dari dirinya. Sampai-sampai, Pak Pepih Nugraha pun ikut "terseret" ke sana dan berujung artikel permintaan maaf dari Kompasiana. Sayang sekali!

Seharusnya ini tidak perlu terjadi, jika Twitter tidak dimanfaatkan untuk mem-posting mengenai isu-isu penting dan/atau sensitif, termasuk juga tidak [semata-mata] dijadikan acuan untuk membangun opini melalui sebuah artikel. Akhirnya, baik "pengicau" maupun yang membaca "kicauan" harus sama-sama berhati-hati dalam hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun