Untuk menunjang klaim di atas, Evans berargumentasi bahwa para penulis Injil adalah para mathetai (learners). Menurut konteksnya, kata ini menandai relasi pedagogis: guru-murid. Dan dalam konteks pedagogis Hellenistik yang mempengaruhi juga konsep pedagogi Yudaisme abad pertama, para murid memiliki fleksibilitas yang cukup luas untuk, misalnya: mengedit, mengubah urutan, memperluas, mempersingkat, dsb., pengajaran dari seorang guru. Ingat, gelar Yesus yang sangat menonjol dalam potret kitab-kitab Injil, salah satunya, adalah Guru (Yun.: didaskalos). Semua ini dilakukan untuk tujuan pedagogis, yaitu meneruskan atau menurunalihkan pengajaran Sang Guru dalam konteks yang baru atau kepada generasi selanjutnya.
Bagi Evans, Ehrman bersama dengan mereka yang menuding kitab-kitab Injil berkontradiksi secara historis, sebenarnya mengasumsikan asumsi yang salah mengenai para penulis kitab Injil. Mereka yang menuding demikian sering mengklaim, misalnya saja: Injil Matius menyatakan 1-2-3, sementara Markus menyatakan 1-3-2. Logika historisnya adalah keduanya dapat sama-sama salah, tetapi keduanya tidak dapat sama-sama benar. Jika salah satunya benar, maka yang satunya lagi salah. Klaim seperti ini adalah misrepresentasi dari natur relasi pedagogis pada masa itu. Seorang murid pada masa itu, memiliki fleksibilitas (bahkan diharapkan oleh gurunya) untuk menarik implikasi, aplikasi, serta signifikansi dari pengajaran gurunya dalam konteks yang baru. Dan untuk melakukan demikian, sang murid dapat mengedit, mengubah urutan, mempersingkat, memperluas, melakukan parafrase, dsb., terhadap isi pengajaran original dari sang guru! Contoh aktual dari jaman itu yang diperlihatkan Evans adalah sebuah genre penulisan Greco-Roman (Yunani-Romawi) yang disebut khreia. Menariknya, kitab-kitab Injil pun mengandung sub-genre ini dalam banyak bagian!
Dengan kata lain, concern dari historiografi modern mengenai ketepatan kronologis ditransfer sebagai beban kepada para penulis Injil untuk diikuti. Padahal para penulis kitab Injil menggunakan kaidah-kaidah historiografi kuno, lebih spesifik lagi, kaidah relasi pedagogis di atas yang tidak mengharuskan kaidah historiografi modern tersebut!
Itulah sebabnya, hari ini kita memiliki empat kitab Injil. Bukan karena keempatnya menyajikan Injil (kabar baik mengenai Yesus Kristus) yang berbeda, melainkan bahwa keempatnya menarik signfikansi atau penekanan yang berbeda dari Injil yang sama yang diajarkan oleh Yesus Kristus dalm konteks serta penekanan yang berbeda!
“Harapan-harapan” yang Salah
Dalam konteks sejarah pedagogis di atas, tudingan bahwa kitab-kitab Injil mengandung kontradiksi historis maka tidak benar dan karena tidak benar maka tidak handal dan karena tidak handal secara historis, sebenarnya bukan hanya merupakan sebuah misrepresentasi genre, melainkan juga mengandung “harapan-harapan” yang salah mengenai penulisan kitab-kitab Injil.
Kita tidak dapat mengharapkan para mathetai pada masa itu untuk menulis seperti sebuah tape recorder atau empat rekaman dengan isi yang sama persis mengenai pelayanan dan pengajaran Yesus. Kita juga tidak dapat menuntut mereka untuk sekadar berfungsi sebagai transcribers (para penyalin) yang semata-mata mengutip verbatim demi verbatim (mere reciters) pengajaran Yesus. Mereka dapat mengeditnya, memperluas, mempersingkat, mengubah urutan demi penekanan tertentu, dsb., untuk tujuan pedagogis. Dan sebagai informasi, tujuan pedagogis adalah salah satu tujuan mayor dalam penulisan kitab-kitab Injil.
Mungkin, mereka yang mengklaim tudingan di atas mengelak bahwa mereka tidak mengharapkan demikian. Tentu saja mereka harus mengelak dari “harapan-harapan” di atas karena mereka tahu persis bahwa harapan-harapan itu hanya ilusi. Harapan-harapan ini adalah ilusi karena semua pengajar dari jaman ke jaman hingga saat ini dan seterusnya, mengharapkan para muridnya untuk bukan sekadar mengulangi kembali secara persis pengajaran para pengajar, melainkan lebih penting lagi mereka memperluas, mengevaluasi, menarik implikasi dan signfikansinya, serta melakukan parafrase dsb., sesuai dengan konteks baru yang mereka hadapi. Jika kita berharap para penulis Injil menyajikan kisah dalam urutan yang sama persis dengan kata-kata yang sama persis, sebenarnya kita mengharapkan mereka menjadi tape recorder dan bukan para penulis sama sekali!
Tetapi, ketika Ehrman dan mereka yang lain datang kepada kitab-kitab Injil lalu menyematkan tudingan tersebut di atas, secara logis mereka mengasumsikan bahwa seharusnya isi dari kitab-kitab Injil sama persis atau setidaknya identik satu sama lain. Karena tidak sama persis dan atau tidak identik satu sama lain, maka mereka mengklaim adanya diskrepansi dan kontradiksi. Mereka tidak harus mengakui bahwa mereka membawa harapan-harapan yang salah itu kepada kitab-kitab Injil. Fakta bahwa mereka mengklaim demikian adalah saksi tak terbantahkan bahwa mereka memang membawa harapan-harapan tersebut! Dan sekali lagi, sayangnya, harapan-harapan itu adalah ilusi semata.
Kitab-kitab Injil adalah potret, bukan pas foto Yesus!
Referensi: