"καὶ μακάριός ἐστιν ὃς ἐὰν μὴ σκανδαλισθῇ ἐν ἐμοί" - Teks Yunani Matius 11:6
"kai makarios estin hos me skandalisthe en emoi" - Transliterasi.
"Dia yang berbahagia adalah yang tidak menolak aku" - Terjemahan saya.
Sekilas Mengenai Konteksnya
Di dalam konteksnya (Mat. 11:1-13), teks di atas merupakan respons Yesus terhadap pertanyaan Yohanes Pembaptis yang sedang berada di penjara. Yohanes Pembaptis mengutus murid-muridnya untuk menanyai Yesus apakah Yesus adalah Mesias yang dijanjikan (dalam PL) itu atau mereka harus menantikan seorang yang lain? Ini menjadi menarik karena Yohanes Pembaptis sendirilah yang membaptis Yesus sekaligus mendeklarasikan identitas Mesianik Yesus di awal pelayanannya.
Untuk memahami pertanyaan Yohanes Pembaptis, perlu diingatkan bahwa isi (content) pengharapan mesianik Yudaisme adalah bahwa kedatangan Mesias akan mengakhiri segala penderitaan fisik sekaligus menegakkan kembali kejayaan (rohani sekaligus nasional) orang-orang Yahudi. Mereka tengah berada di pembuangan sejak penyerbuan Asyur dan Babel yang mengakibatkan kehancuran Bait Suci (yang dibangun Salomo kemudian dibangun kembali oleh Ezra) maupun kehancuran Yerusalem (yang dibangun kembali di bawah pimpinan Nehemia). Mereka menantikan Mesias untuk pemulihan (restoration) akan situasi ini.
Mengalami penjara, tampaknya bukan pertanda yang baik bahwa restorasi dalam pengertian di atas akan terjadi. Itulah sebabnya, Yohanes meminta konfirmasi Yesus dengan mengutus para muridnya untuk bertanya seperti di atas. Setelah mengemukakan sejumlah karakteristik perbuatan-perbuatan Mesianik (mesianic deeds), Yesus kemudian menyatakan, "Dia yang berbahagia adalah yang tidak menolak aku". Jawaban ini sebenarnya mengintonasikan kembali isi Ucapan Bahagia (Beatitudes) dalam Khotbah di Bukit (Sermont on the Mount).
Lensa Diakronis
Penolakan terhadap Yesus, khususnya berkait kelahiran-Nya, sudah terjadi sejak ia mulai dikandung hingga saat ini. Saya akan memperlihatkan ikhtisar diakronisnya di sini.
Kita mendapati nuansa tekanan akibat Maria mengandung Yesus dalam narasi Lukas mengenai kepergian Yusuf dan Maria dari Nazareth ke Betlehem. Secara historis, mereka pergi dalam rangka mengikuti sensus yang diadakan oleh kaisar Agustus. Para pakar sejarah menyatakan bahwa sensus itu tidak perlu dihadiri oleh suami-istri. Kenneth E. Bailey: "In the Middle East, men usually represent their family in any official or legal matters." Maurice Startre: "...for reasons unknown to us, there would have been no reason for him [Joseph] to take his wife with him, because the head of the family always had to register all the members of his household." Philip Yancey: "Seorang kepala keluarga sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk sensus romawi." Jadi, Maria tidak harus ikut dalam perjalanan itu. Pertanyaannya, mengapa Maria harus ikut?
Ada banyak usulan jawaban untuk pertanyaan di atas. Tetapi menurut saya yang paling masuk akal untuk diterima adalah bahwa situasi kehamilan Maria sendirilah yang menjadi alasan Yusuf harus membawa serta Maria bersamanya. Dalam tradisi Yahudi, seorang wanita yang hamil di luar pernikahan yang sah harus menuai lemparan batu sampai mati. Ia dianggap sebagai aib yang mendatangkan kutuk atas seluruh keluarga besarnya. Dalam latar kultur seperti ini, bisa dibayangkan seberapa besar tekanan yang dihadapi Maria dan mengapa Yusuf harus membawa Maria bersamanya mengikuti sensus itu.
Tekanan itu bukan sebuah imajinasi tanpa dasar. Karena kalau kita menelusuri respons orang-orang sekampung Yesus terhadap-Nya setelah Ia memulai pelayanan-Nya, kita akan mendapati bahwa mereka memang menolak Dia. Markus 6 mengisahkan bahwa Yesus tidak diterima oleh orang-orang sekampung-Nya karena asal-usul-Nya. Yang menarik dari teks ini adalah Yesus disebut oleh orang-orang sekampung-Nya sebagai "anak Maria" (ὁ υἱὸς τῆς Μαρίας;Mrk. 6:3). Sebutan ini tidak biasa karena dalam konteks Yahudi, seorang anak itu sebut sebagai anak ayahnya, bukan anak ibunya. Itulah sebabnya para pakar, semisal Morton Smith beranggapan bahwa sebutan itu menggemakan desas-desus mengenai asal-usul Yesus yang "tidak sah" (illegitimate). Ia menulis, "...Jesus' birth was in fact irregular...". Smith bahkan berimajinasi lebih liar lagi saat membaca narasi Yusuf membawa Yesus mengungsi ke Mesir ketika hendak dibunuh oleh Herodes (Mat. 2:13dst). Menurut Smith, di Mesir Yesus belajar ilmu sihir kemudian kembali ke Palestina sebagai seorang penyihir. Itulah sebabnya ia memberi judul bukunya: Jesus the Magician!
Tudingan mengenai asal-usul Yesus yang tidak sah itu, sebenarnya mulai sangat kentara sejak abad kedua. Dalam tulisan seorang Bapa Gereja abad ketiga, Origenes (Contra Celsum), disebutkan mengenai asersi seorang bernama Celsus yang menulis buku berjudul: The True Word (Yun. Logos Alethes) kira-kira pada tahun 178 M. Menurut Celsus, Yesus dibawa orangtua-Nya ke Mesir karena penolakan orang-orang sekampung-Nya. Celsus bahkan merupakan orang yang pertama kali mempopularkan dugaan bahwa Yesus lahir akibat perzinahan Maria dengan seorang tentara Romawi bernama Panthera (atau Pandira atau Pantiri).