Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Edisi Curhat: "Saya Orang Kampung"

30 Desember 2014   10:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:11 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="380" caption="http://s2.fotografer.net/"][/caption] Beberapa bulan lalu, seorang teman menawarkan kepada saya untuk membeli sebidang tanah yang lokasinya sangat strategis di salah satu kota. Karena lokasinya sangat strategis, maka harganya pun sudah bisa ditaksir, lumayan. Ketika untuk pertama kali mendengar nama saya, kerabat dari teman saya ini berguman yang kira-kira isinya seperti ini: "Akh itu nama kampung, gak ada orang mapan dengan nama kampung seperti itu." Ketika gumanan itu sampai kepada saya, tidak sedikit pun saya merasa tersinggung. Saya malah membenarkannya. Ya, saya memiliki nama kampung karena memang saya orang kampung. Saya lahir di pedalaman Pulau Timor saat ayah saya bertugas sebagai guru di sana. Untuk sampai ke kota Kupang, kala itu kami harus berjalan kaki sejak subuh dan baru tiba di kota sekitar jam 9an pagi. Dan bagi saya itu bukan sesuatu yang harus mengandung rasa malu untuk diakui atau dibicarakan seakan-akan saya mesti merasa malu kalau memiliki "nama kampung". "Nama kampung", "orang kampung", dan "kampungan," adalah sebutan-sebutan stigmatis yang mengandung nada cemoohan di dalamnya. Nada seperti ini tidak perlu dibilang tidak ada supaya kedengaran enak di telinga. Justru karena ada maka paradgima kita perlu dibenahi lagi. Dan ini adalah tujuan saya menulis curhat ini. Katak dalam tempurung Sebagai contoh saja. Saya ingat, waktu masih kanak-kanak, orang-orang yang tinggal di kota sering menyebut kami orang-orang kampung. Kalau Anda tinggal di kota dan pernah melakukan ini, Anda tidak perlu malu mengakui bahwa Anda memang suka menggunakan istilah itu sebagai cemoohan bagi orang-orang kampung. Sekali lagi, benar, kami orang kampung! Lalu, lima belas tahun sesudah saya menamatkan SMU, saya berkesempatan mengunjungi sejumlah kota besar di dunia. Saat berada di Sydney sepulang dari Alice Springs, saya ingat persis pernah terlintas di benak saya: "Hmm..berarti sekarang Kupang itu kampung dong." Anda bisa melihat poin saya di atas? Yup. Kampung atau tidak, bergantung Anda sedang berada di mana. Suatu ketika, andaikan saja Anda berkesempatan ke bulan, di sana mungkin Anda akan kangen akan "kampung" Anda di London, misalnya. Itu berarti sebutan "kampung" itu bukan sebutan yang statis. Ia dinamis dan luas. Sedinamis perjalanan hidup Anda dan seluas serta sejauh langkah kaki Anda terayun. Menjadikan sebutan itu sebagai cemoohan, berarti Anda menjadikan sebutan itu statis. Menjadikannya statis, berarti Anda sedang membatasi ruang gerak Anda dan orang lain. Dan berita buruknya adalah Anda sedang mencocokkan paradigma Anda dengan bunyi sebuah peribahasa lawas: "Bagaikan katak dalam tempurung." Telor ceplok vs telor mata sapi Ada orang yang tidak malu menyebut dirinya orang kampung, tetapi menghindarkan dirinya dari sebutan kampungan, maka muncullah slogan ini: "Saya orang kampung tapi bukan kampungan." Asumsinya adalah sebutan kampungan itu sendiri mengandung intonasi memalukan. Sebenarnya apa maksud penggunaan istilah kampungan dalam konteks di atas? Istilah ini digunakan untuk sikap yang "kagetan, norak, dsb.," ketika berada di keramaian dan keindahan kota. Excitement yang dianggap berlebihan terhadap segala sesuatu yang ada di kota. Misalnya saya ingat pertama kali ke Jakarta lalu melintasi Monas, saya menatap tugu itu dengan rasa kagum dengan mulut sedikit menganga untuk jangka waktu tertentu. Saya bisa membayangkan kalau saja ada "orang kota" yang memperhatikan saya, bukan tidak mungkin saya akan segera dilabeli kampungan atau dasar orang kampung. Baiklah. Dua atau tiga tahun lalu, ketika pertama kali membawa anak-anak saya ke Eiffel, saya memperhatikan gestur (bahasa tubuh) yang mirip dengan yang saya kisahkan di atas. Saya bertanya kepada anak saya, "Kenapa bersikap begitu?" Anak saya yang sulung, si ahli filsafat muda itu pun menimpali, "Wah Dad, itu ekspresi kekaguman. Kekaguman akan kejeniusan manusia dalam menghasilkan menara seperti ini. Magnifique!" Tidak ada stigma di dalam jawaban seperti ini. Yeah, right! Jadi, kalau orang dari kampung dengan gestur yang sama, maka Anda menyebutnya bersikap kampungan, sementara Anda melabeli diri Anda sebagai pengagum karya jenius manusia? Ini kedengaran seperti saya menggunakan istilah telor ceplok dan Anda menggunakan istilah telor mata sapi! Hehehehehe Rasa cukup-diri Kembali ke kisah ringkas di awal tulisan ini. Singkatnya, sampai sekarang saya tidak jadi membeli lahan itu. Prinsip saya sederhana. Saya senang jika Anda merasa bisa membuktikan sesuatu. Good for you! Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan dan saya tidak kehilangan apa-apa sama sekali. Dan saya membiasakan diri saya membuktikan argumen, tetapi tidak pernah membiasakan diri saya untuk merasa harus membuktikan diri kepada siapa pun. Jika itu adalah argumen, saya akan tanggapi. Jika itu hanya sebuah opini, saya malah menyarankan buatlah opini sesuka hati Anda lalu hidupi opini itu seakan-akan itu realitas. Saya memiliki rasa cukup-diri (self-sufficient) yang mungkin belum pernah Anda bayangkan sebelumnya. Lagi pula saya menikmati dagelan sesat pikir yang konstruksinya seperti di bawah ini:

  • Ia memiliki nama kampung;
  • Orang yang memiliki nama kampung tidak mungkin mapan;
  • Maka, ia bukan kandidat pembeli yang perlu diseriusi (mungkin sejenis penipu)

Anda lihat, saya tidak kehilangan apa-apa, malah sebaliknya saya mendapatkan lelucon gratis. Ia melakukan non sequitur fallacy sekaligus menjadikan dirinya bahan lelucon di benak saya setiap kali saya mengingatnya. Gotcha! Ternyata, katak dalam tempurng dan telor ceplok vs telor mata sapi dapat dibablas dengan membangun serta memiliki rasa cukup-diri. Saya kira, rasa cukup-diri seperti inilah yang menggelorakan hati kita dengan rasa syukur tatkala kita dengan bangga menyanyikan lagu di bawah ini. Pastikan Anda tidak meninggalkan tulisan ini tanpa mendengarkannya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun