Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Klarifikasi atas Lontaran Pak Pepih

2 Januari 2015   14:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:59 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.sqleadership.com/

http://www.sqleadership.com/ Masih tentang komentar Pak Pepih: "Benar-tidaknya analisa, urusan belakang" yang ditanggapi oleh Pak Joko P (Kompasiana & Barbarisme Jurnalistik), lalu saya tanggapi dalam sebuah tulisan lain pada hari yang sama (Pepih Nugraha: "Benar-Tidaknya Analisa, Urusan Belakang"). Kedua tulisan ini menurut Pak Pepih sendiri dalam komentarnya di tulisan saya, "membakar hati" beliau untuk menulis sebuah tulisan klarifikatif. Alhasil, kemarin beliau memosting tulisan berjudul: "Soal Benar-Tidaknya Analisis Itu Urusan Belakang". Akhirnya, pagi ini saya baru saja membaca tulisan Pak Ben Baharrudin Nur berjudul: "[Masih] Soal Benar-Tidaknya, Urusan Belakang". Saya sengaja menulis lagi soal ini karena saya melihat ada pelajaran penting berkait bagaimana menulis dan bagaimana membaca tulisan atau memaknai pernyataan yang dalam banyak kasus sering menimbulkan diskusi yang alot. Dan saya kira hal kecil ini justru menjadi sangat penting untuk dingatkan karena kita bisa saja tergelincir untuk melakukannya kapan saja ketika membaca berbagai tulisan dengan berbagai warna dan nada di Kompasiana. Memaknai "Seperti yang Nararya bilang" Pada dasarnya, original intention dari pernyataan Pak Pepih di atas sudah sangat jelas dalam tulisan klarifikatif beliau sendir. Dan saya kira, seperti yang sudah saya tandaskan juga dalam tulisan saya di atas, pernyataan Pak Pepih tersebut tidak perlu lagi disalahpahami. Yang menjadi persoalan sekarang adalah justru tulisan saya yang berpotensi untuk disalahpahami. Potensi kesalahpahaman itu, saya kira berawal dari parafrase Pak Pepih terhadap tulisan saya. Saya menulis demikian:

Meski begitu, harus diakui bahwa tulisan Pak Joko memberi kesan yang mungkin ia sendiri tidak maksudkan. Kesannya adalah seakan-akan pernyataan Pak Pepih lebih mengedepankan kecepatan pemberitaan ketimbang akurasi dan kebenaranpemberitaan itu sendiri. Tidak heran, kalau Anda membaca komentar-komentar di bawahnya, ada sejumlah komentator yang mengeksplisitkan kesan tersebut, semisal: “…Suhunya saja sudah menggunakan semboyan ‘urusan belakang’”. Ada pula yang mengungkapkan pesimisme total terhadap tulisan-tulisan di Kompasian.

Mengomentari paragraf di atas, Pak Pepih menulis:

Seperti yang Nararya bilang, boleh jadi pernyataan saya beberapa bulan lalu mengesankan bahwa saya “menyembah” kecepatan (speed) saat berada di ranahonline atau media sosial, sehingga ketepatan (akurasi) dan kebenaran dinomorsekiankan. Poin saya tidak di situ! Sebagai praktisi media, saya tidak lagi “mendewakan” kecepatan meski credo ini masih tetap dipegang oleh para pemimpin redaksi di newsroom berita online, termasuk Kompas.com selaku media arus utama (mainstream) sekalipun.

Membaca paragraf saya kemudian membandingkannya dengan paragraf Pak Pepih di atas, tampaknya muncul lagi "kesan yang tidak dimaksudkan" kalau orang membaca "Seperti yang Nararya bilang...". Frasa ini dapat mengandung dua kesan makna:

  1. Menurut saya, tulisan Pak Pepih berkesan demikian (saya menilai demikian terhadap pernyataan Pak Pepih);
  2. Tulisan saya mengandung pernyataan mengenai kesan itu (saya menganggap orang lain menilai demikian);

Saya sudah menyadari akan double meaning dari frasa "seperti yang Nararya bilang" saat membaca tulisan Pak Pepih, namun awalnya tidak saya anggap serius. Saya malah mengomentari hal lain dari tulisan tersebut. Lalu, saya melihat komentar Mas Wahyu di tulisan Pak Pepih berkait "seperti yang Nararya bilang". Anda bisa membaca sendiri komentar Mas Wahyu di tulisan itu yang mencoba mengklarifikasi bahwa kesan itu bukan menurut saya. Ter-imply dari komentar Mas Wahyu adalah Pak Pepih memberi kesan seakan-akan kesan yang tidak reprsesentatif berkait pernyataanya berasal dari penilaian saya. Itulah sebabnya, Mas Wahyu mencoba mengklarifikasinya. Mas Wahyu benar dalam isi komentarnya. Saya sebenarnya mengomentari tulisan Pak Joko yang memberi kesan tersebut. Artinya, kesan itu bukan menurut saya, melainkan kesan itu ada di tulisan Pak Joko yang saya komentari begitu. Dengan menerapkan prinsip charity, saya percaya frasa Pak Pepih tersebut merujuk kepada poin 2 di atas, bukan poin 1. Jadi, saya tidak menuding Pak Pepih sengaja memberi kesan yang salah terhadap tulisan saya. Saya juga tidak menganggap Pak Pepih misread paragraf saya di atas. Tetapi harus diakui bahwa double meaning dari frasa "seperti yang Nararya bilang" memang dapat menuntun siapa saja (yang tidak melakukan cross-check) untuk berpikir bahwa sayalah yang menilai bahwa tulisan Pak Pepih berkesan demikian. Padahal tidak begitu! Dan Pak Ben sudah meluruskan hal tersebut dengan menulis demikian:

Saat yang sama saya juga tidak bisa mengesampingkan tulisan Kompasianer Joko P bertajuk “Kompasiana & Barbarisme Jurnalistik” yang tayang pada penghujung tahun 2014 (30/12) lalu. Tulisan inilah yang ditanggapi oleh Nararya karena kemungkinan terkesankan dalam tulisan itu bahwa komentar kang Pepih dimaknai menomor-duakan akurasi di atas kecepatan. [huruf miring pada kalimat terakhir ini dari saya sebagai penekanan].

Terima kasih Pak Ben! Waspadai Ambiguitas Dalam tulisan terdahulu, saya mengingatkan untuk mewaspadai straw man fallacy dalam membaca atau menanggapi pernyataan seseorang. Orang melakukan straw man fallacy biasanya karena beberapa alasan, antara lain:

  1. Pokoknya tidak setuju. Karena pokoknya tidak setuju maka segala macam cara dipakai untuk menyerang atau mengungkapkan ketidaksetujuan;
  2. Mendapatkan informasi yang salah mengenai suatu hal.
  3. Misreading (biasanya secara tidak sengaja) tulisan seseorang yang kemudian melahirkan mis-represesentasi (entah sengaja atau tidak sengaja) terhadap maksud seseorang.

Misreading yang memimpin kepada mis-representasi terjadi, salah satunya (bukan satu-satunya), karena adanya ungkapan-ungkapan (entah itu frasa, kata, dll) yang ambigu (mis. mengandung makna ganda) dalam pernyataan lisan maupun tulisan. Dalam tulisan-tulisan yang "serius" (mis. kontroversial, menyangkut reputasi seseorang, kejadian sejarah, dsb.), saya sarankan agar berhati-hati memilih dan menggunakan kata lalu mengkonstruksinya menjadi kalimat. Jika tidak, orang bisa menangkap kesan yang tidak kita maksudkan gara-gara adanya ambiguitas dalam tulisan kita. Jangan khawatir, saya tidak sedang mengatakan bahwa jika orang mendapatkan kesan yang salah, maka itu pasti semata-mata karena ada ambiguitas dalam tulisan kita. Tidak begitu. Ada banyak kasus di mana orang membaca tulisan kita dengan sangat tendensius sehingga apa pun yang kita tulis terkesan "lain" dalam benaknya. Untuk orang-orang seperti ini, Anda hanya perlu tersenyum hingga pada taraf yang sudah menyebalkan, mungkin Anda hanya perlu menyatakan: "Sorry, I can not cure stupidity." Akhirnya saya menggarisbawahi lagi argumen Pak Pepih bahwa sebuah ucapan harus dipertanggungjawabkan ketepatannya. Tepat sekali. Karena harus dipertanggungjawabkan ketepatannya, maka sebaiknya kita menghindari ungkapan-ungkapan yang ambigu dalam ucapan maupun tulisan kita. Semoga bermanfaat; Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun