Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menakar Sentilan Sastra Wijaya Terhadap Kompasiana

9 Januari 2015   05:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.opendiscipleship.org/

[caption id="" align="aligncenter" width="362" caption="www.opendiscipleship.org"][/caption]

Hari ini, ada dua isu spesifik yang menyita perhatian saya. Pertama, peristiwa pembunuhan brutal atas nama ketersinggungan agamawi di Prancis. Untuk isu ini, sebuah artikel khusus telah saya publikasikan. Dan kedua, isu yang diangkat oleh Pak Pepih Nugraha (PN; 8/1/2015).

Ada komentar dari dua orang yang menarik perhatian saya dalam tautan isi diskusi di FB yang dicantumkan di tulisan PN, yaitu komentar Erri Subekti (ES) dan komentar Sastra Wijaya (SW). Komentar ES sudah saya komentari. Dan tidak ada substansi menarik di dalam isu red herring yang ES lontarkan.

Di sisi lain, komentar SW menarik perhatian saya karena ia mendiskusikan tentang isi artikel Mawalu yang kemudian menjadi acuan baginya untuk melontarkan asersi negatif terhadap Kompasiana. To be fair, saya akan meringkas argumen SW terlebih dahulu sebelum memberikan tanggapan logisnya.

Argumen SW

SW berangkat dari asumsi bahwa tulisan Mawalu “salah” kemudian ia menuju ke area yang lebih luas yang menurutnya lebih esensi yaitu peran editor di Kompasiana. Tentu saja SW tidak sekadar mengasumsikan itu. Ia memberikan argumen yang diyakininya benar untuk kemudian ia asumsikan guna menyentil Kompasiana. Ia menyatakan,

Isi tulisan itu mungkin sah-sah saja bagi kalangan terbatas, tetapi seperti yang saya tulis sebelumnya, walau bernada positif, dia kemudian berargumentasi bahwa mereka yang di pihak lain jadi “tidak terselamatkan.” [huruf miring dari saya sebagai penekanan].

Jadi menurut SW, kesalahan dalam tulisan itu adalah adanya “argumentasi”, lebih tepatnya implikasi, bahwa mereka yang menjadi korban dalam peristiwa naas itu “tidak terselamatkan”.

Jika saya secara tepat mempresentasikan ulang argumen SW, maka muncul dua pertanyaan penting: pertama, apakah benar bahwa “kesalahan” yang diasumsikan SW tidak esensial dalam sentilannya terhadap Kompasiana?; dan kedua, apakah SW secara tepat “menyerang” isi tulisan Mawalu?

Mengacu kepada dua pertanyaan di atas, saya akan mengemukakan sejumlah poin tanggapan di bawah ini, dari sisi logisnya, termasuk poin pembelajaran yang menurut saya relevan dengan isu ini.

Tidak esensial?

Apa yang dimaksud dengan tidak esensial dalam komentar SW di atas? Entahlah. Tetapi, secara logis, ia mendapatkan acuan untuk sentilannya terhadap Kompasiana, berangkat dari artikel Mawalu yang ia asumsikan “salah”. Tanpa mengasumsikan “kesalahan” dalam artikel Mawalu, ia tidak memiliki acuan spesifik apa pun untuk sentilannya terhadap Kompasiana.

Maka saya setuju dengan tantangan PN terhadap SW untuk berani mengemukakan tanggapannya di Kompasiana terhadap isi artikel tersebut.

Apakah “straw man fallacy” itu?

Sebelum melanjutkan dengan respons terhadap pertanyaan kedua di atas, saya perlu memberikan sedikit penjelasan mengenai straw man fallacy. T. Edward Damer mendefinisikan straw man fallacy sebagai berikut:

Misrepresenting an opponent position or argument, usually for the purpose of making it easier to attack (2009, 204).

Entah dalam tujuan untuk memudahkan serangan terhadap posisi lawan atau tidak, misrepresentasi posisi lawan itu sendiri, entah dalam bentuk: salah memahaminya, mendistorsi, memperluas, atau menyederhanakannya sedemikian rupa sehingga terlihat absurd, sudah cukup untuk membuat argumen seseorang terkategori sesat pikir (fallacious;Damer, 2009; 204).

Cara berargumen seperti itu adalah sesat pikir karena ia melanggar prinsip charity dalam berargumen (Damer, 2009; 204)

Berargumen?

Saya membaca tulisan Mawalu, dan di dalam artikel itu tidak ada argumen semacam yang dituduhkan SW. Artikel Mawalu adalah artikel berisi testimoni, bukan artikel argumentatif. Jangan salah paham. Saya tidak menyatakan bahwa di dalam sebuah testimoni pasti tidak ada argumentasi. Yang saya katakan adalah tulisan testimoni Mawalu tidak mengandung argumentasi semacam yang dituduhkan SW.

Natur dari testimoni yang ditulis Mawalu itu adalah ungkapan syukur karena yang bersangkutan tidak jadi berangkat dengan pesawat naas itu. Ia memaknai itu sebagai pertanda perlindungan dan kasih saya Tuhan atas hidupnya.

Dalam natur seperti di atas, kita tidak dapat menarik implikasi yang tidak harus seakan-akan jika ia bersyukur bahwa ia tidak jadi berangkat kemudian diselamatkan dan itu membuktikan pemeliharaan Tuhan atas hidupnya, maka yang menjadi korban itu tidak dikasihi atau tidak diselamatkan Tuhan. Ini adalah implikasi yang tidak harus dalam kategori testimoni religius.

Misalkan saja. Anda bertetangga dengan orang papah. Anda cukup mapan dan Anda tahu persis bahwa tetangga Anda papah. Di dalam doa Anda pada suatu malam, Anda menyatakan, “Saya bersyukur karena Engkau (Tuhan) memelihara hidup saya sekelurga dengan berkat yang cukup untuk kehidupan kami sehari-hari. Terima kasih untuk kasih sayang-Mu atas keluarga kami dengan adanya berkat yang cukup itu bagi kami setiap hari.”

Mendengar ungkapan semacam di atas, Anda tidak dapat berdiri kemudian berinterupsi: “Tunggu dulu, apakah maksud Anda tetangga sebelah Anda itu tidak mendapatkan pemeliharaan dan kasih Tuhan karena dia sangat berkekurangan?” Ini adalah penarikan implikasi yang keliru. Keliru karena mereduksi kasih sayang Tuhan dan pemeliharaan-Nya hanya pada satu aspek saja sehingga ketika orang bersyukur untuk kasih dan pemeliharaan Tuhan atas berkat yang cukup itu, lalu Anda protes seakan-akan itu mengeliminasi kasih sayang Tuhan bagi si papah tadi.

Bukan hanya itu. Penarikan implikasi yang keliru di atas sebenarnya lahir dari kesalahan membaca natur tulisan Mawalu yaitu sebagai testimoni religius, spesifiknya ungkapan syukur, dan bukan argumentasi defensif terhadap kondisi terselamatkannya dia dari kecelakaan maut itu apalagi argumentasi ofensif terhadap para korban tersebut seperti yang ter-imply dari argumen SW di atas.

Meaning is genre-dependent

Saya tidak sekadar bermaksud memperlihatkan sesat pikir yang dilakukan SW. Sesungguhnya diskusi itu mengingatkan saya akan dua hal, yaitu pentingnya mengingat prinsip charity dalam berargumen. Namun karena saya sudah sering membahas mengenai prinsip ini, maka saya fokus pada hal berikutnya, yaitu sebuah diktum penting dalam memaknai sebuah tulisan. Diktum ini digunakan dalam konteks genre criticism yang berbunyi, demikian: “Meaning is genre-dependent” (Osbrone, 2006; 6).

Diktum di atas tidak berarti bahwa genre merupakan satu-satunya penentu makna. Tidak. Diktum di atas mengingatkan bahwa tanpa memperhatikan genre dari sebuah tulisan, Anda sangat mungkin akan melakukan misreading. Genre menentukan strategi membaca dan cara menanggap!

Misalnya, Anda tidak dapat membaca koran atau surat kabar dengan cara menanggap yang sama seperti halnya Anda membaca sebuah novel. Anda tidak dapat membaca sebuah puisi sama seperti Anda membaca sebuah narasi. Anda tidak dapat memaknai sebuah peribahasa sama seperti Anda membaca sebuah proposisi filsafati.

Saya percaya, sebagai seorang wartawan senior, SW sangat mungkin mengetahui hal penting ini. Sayangnya, ia keseleo [?] untuk tidak menerapkannya saat membaca tulisan testimonial Mawalu dan menciptakan argumentasi straw man untuk mendukung sentilannya terhadap Kompasiana. Sayang sekali!

Kesimpulan

Sebagai reafirmasi saja, berdasarkan argumen di atas, saya menganggap SW melakukan straw man fallacy yakni melakukan misrepresentasi natur tulisan Mawalu dan menarik implikasi yang salah demi mendukung sentilannya mengenai Kompasiana.

Sumber-sumber:

  1. Tulisan Pepih Nugraha: http://media.kompasiana.com/new-media/2015/01/08/dalam-diskusi-virtual-intelektual-saja-tak-cukup-tetapi-sopan-santun-juga-715395.html (diakses tanggal 8 Januari 2015).
  2. Tulisan Mawalu: http://unik.kompasiana.com/2015/01/04/kesaksian-bapak-chandra-susanto-dan-ibu-inge-di-gereja-tiberias-indonesia-yang-lolos-dari-maut-airasia-qz8501-714565.html (diakses tanggal 8 Januari 2015).
  3. T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments (6th ed.; Belmont, CA.: Wadsworth, 2009).
  4. Grant R. Osbone, The Hermenutical Spiral (Revised edition; Downers Grove, Illinois: IVP Academic, 2006).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun