Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Hingga Tak Ada Lagi yang Bisa Dipelajari

13 Januari 2015   15:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:15 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ini adalah sebuah testimoni pribadi. Sebuah testimoni tentang gaya hidup belajar yang saya dapatkan dari ayah saya - sosok yang sedemikian hebat mempengaruhi hidup saya hingga kini.

Kehebohan di rumah

Lahir dan bertumbuh dalam sebuah keluarga guru, merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Nuansa kehidupan sehari-hari adalah nuansa pendidikan. Di kala senggang, kami berkumpul sekeluarga sambil mendengar petuah-petuhan ayah. Ayah saya adalah orang yang "serius". Sangat jarang ia membicarakan hal remeh-temeh dalam momen-momen seperti itu. Setiap momen berkumpul, adalah momen pemberian petuah, baginya. Sebagai guru, tentu intonasi pembicaraannya mayoritas seputar masalah pendidikan. Dan saya ingat persis, ayah saya sering berkata:"Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya".

Petuah di atas membekas di benak bahkan melebur sebentuk gaya hidup saya hingga kini.  Ketika anak-anak seusia saya menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan bermain, saya menghabiskan waktu dengan menikmati buku-buku bacaan yang saya pinjam dari sekolah. Kala itu, saya bisa habis membaca 3-4 buku sekaligus dalam sehari. Mungkin itulah sebabnya, sejak SD hingga SMU, saya selalu mendapat predikat "juara kelas". Tidak satu dua kali juga menggaet gelar tahunan "juara umum" di sekolah. Ini semua, saya percaya, adalah buah dari membaca.

Dan saya ingat, setiap hari penerimaan rapor, terjadi "kehebohan" kecil di rumah. Mereka berebutan mewakili orangtua untuk menerima rapor saya. Akh, sebuah kenangan indah yang tak pernah bisa saya lupakan. Sebuah kenangan yang tak pernah bosan saya tutur-ulangkan kepada anak-anak saya.

Ke Jakarta

Tiba saatnya saya harus berangkat ke Jakarta untuk kuliah. Seminari teologi, di situ saya akan berstudi. Orang-orang sekampung, tentu termasuk ayah dan ibu serta abang-abang saya ikut mengantar ke pelabuhan Tenau. Pesawat masih merupakan transportasi "bergengsi" saat itu.

Di Pelabuhan, ketika hendak menaiki KM. Dobonsolo, saya tak kuasa menahan tangis perpisahan. Begitu juga dengan semua yang mengantar saya. Di sela-sela isak tangisnya, ibu saya berpesan: "Ingat jam makan. Kamu kalau udah belajar, bisa seharian tidak ingat makan".

Ayah saya lain lagi. Saya tidak melihat air matanya sama sekali, kecuali senyum. Saya tahu, ia bukannya tidak bersedih. Ia bersikap melampaui kesedihannya. Di dadanya ada segempal kepercayaan bahwa ia tidak akan pernah sia-sia melepaskan saya meninggalkan mereka. Ia memeluk saya sembari berbisik: "Pergilah. Papa percaya kamu. Kembali ke sini nanti dan kasih liat papa bahwa papa tidak salah percaya kamu."

Tahun-tahun investasi

Saat berstudi di seminari, ada semacam shock besar. Sebuah pergulatan batin. Tak semua yang studi di seminari adalah "malaikat". Semua bayangan saya sebelumnya tentang seminari berbeda sama sekali dengan kenyataannya. Untuk beberapa saat, saya sempat mempertimbangkan untuk pulang saja. (sekadar catatan saja: tak semua yang berstudi di sekolah teologi pasti jadi pendeta atau penginjil. Pendeta dan penginjil adalah jabatan gerejawi. Saya bukan pendeta juga bukan penginjil. Saya adalah seorang dosen!).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun