Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sidang Praperadilan BG; Dua Gebrakan Pertama yang Mengecewakan

11 Februari 2015   08:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_396138" align="aligncenter" width="624" caption="Kuasa hukum Budi Gunawan dan KPK tengah menyerahkan bukti kepada hakim praperadilan dalam sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Selasa (10/2/2015). (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)"][/caption]

Saya baru saja mengikuti kuliah mengenai pemikiran-pemikiran profesor Douglas Walton mengenai logika. Walton adalah  Distinguished Research Fellow of the Centre for Research in Reasoning, Argumentation and Rhetoric (CRRAR) di University of Windsor, Kanada. Walton juga terkenal sebagai seorang pakar logika yang mayoritas tulisannya berkenaan dengan argumentasi hukum (legal argumentation). Termasuk karya-karyanya dirujuk sebagai acuan tentang bagaimana mengevaluasi kesaksian seorang saksi ahli dalam argumentasi hukum. Ini menjadi menarik bagi saya, karena saya sudah tidak sabar menanti reportase tentang saksi ahli yang akan diajukan tim pengacara BG dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan besok (Rabu, 11/2/2015). Mudah-mudahan, saya bisa mengontekstualisasikan pemikiran-pemikiran Walton dalam kasus ini nanti.

Untuk sementara, saya mengikuti sidang praperadilan BG (Selasa, 10/2/2015) dengan membaca dua reportase di Kompas.com. Pertama, mengenai saksi yang dihadirkan tim pengacara BG, yaitu Hendy F. Kurniawan - mantan penyidik KPK sejak Maret 2008 hingga Oktober 2012. Dan kedua, pengajuan rekaman video berkait mimik AS dan BW yang terkesan mengejek.

Kesaksian

Dalam tulisan saya dulu, saya sudah menjelaskan mengenai sesat pikir "ikan merah" (red herring fallacy). Tulisan ini khusus membahas tentang argumen "ikan merah" dalam konteks diskusi argumentatif. Tetapi, argumen ikan merah juga sering terjadi di dalam konteks argumentasi hukum (legal argumentation).

Misalnya, Douglas Walton dalam Legal Argumentation and Evidence, menyatakan bahwa tidak semua testimoni dalam sidang dapat dianggap sebagai bukti, jika testimoni tersebut tidak relevan dengan kasus yang sedang diperkarakan. Sebuah testimoni yang tidak relevan dengan kasus yang ada secara natural akan diikuti dengan konstruksi argumen ikan merah. Dalam bukunya yang lain: Witness Testimony Evidence: Argumentation, Artificial Intelligence and Law, Walton mengategorikan kasus pemberian testimoni seperti ini sebagai defeasible testimony (kesaksian yang dapat dianulir).

Kesaksian Kurniawan yang dapat Anda baca di Kompas.com memang merupakan sebuah kesaksian yang tidak relevan. Tidak relevan, karena kasus yang sedang diperkarakan adalah status tersangkanya BG, sementara Kurniawan memberikan kesaksian mengenai sebuah peristiwa spesifik yang lebih awal (earlier) dari kasus yang sedang di perkarakan.

Menurut tim pengacara BG, kesaksian Kurniawan relevan dalam kapasitas sebagai salah satu contoh kasus yang memperlihatkan ketidakkredibelan KPK. Ini adalah argumen ikan merah karena asumsikan saja bahwa isi testimoni Kurniawan benar mengenai kasus pada tahun 2012, itu tidak serta merta membuktikan bahwa penetapan status tersangka bagi BG oleh KPK dilakukan tanpa bukti sekarang! Ini satu hal.

Hal lainnya adalah tampaknya tim pengacara BG sedang membangun argumen analogis (analogical argument) berdasarkan kesaksian Kurniawan. Dianalogikan bahwa kasus tahun 2012 sama seperti kasusnya BG di mana KPK menetapkan status tersangka tanpa bukti. Ini adalah weak analogical argument (argumen analogis yang lemah), karena tim pengacara BG semata-mata mengasumsikan bahwa status tersangka BG dituai tanpa bukti. Padahal, logically, kasus tahun 2012 yang disaksikan Kurniawan barus bisa disebut analogis dengan kasus BG, jika tim pengacara BG memiliki bukti mengenai ketiadaan bukti status tersangka BG.

Maka saya sepakat dengan hakim Zarpin Rizaldi yang sependapat dengan pihak KPK yang menilai bahwa kesaksian Kurniawan tidak relevan dengan kasus yang sedang diperkarakan!

Mimik

Selanjutnya, tim pengacara BG mengajukan rekaman video jumpa pers yang menurut tim pengacara BG memperlihatkan mimik ejekan [terhadap BG]. Bukti ini dipertanyakan hakim Zarpin Rizaldi karena tidak ada suaranya.

Argumentasi yang hendak dibangun tim pengacara BG adalah mimik ejekan AS dan BW saat jumpa pers tersebut, mengindikasikan motif tidak benar (katakanlah begitu) terkait penetapan status tersangka bagi BG.

Perlu dicatat bahwa motif dalam argumentasi legal, berbeda dengan dalam argumentasi logis secara umum, dapat dianggap valid. Walton dalam Argumentation Methods for Artifical Intelligence in Law, menyatakan bahwa dalam argumentasi hukum, "a claim about an agent’s character or past acts could be judged relevant if cited to prove the existence of a motive." Jadi, ada dua hal di sini yaitu karakter dan tindakan-tindakan masa lampau sebagai tolok ukurnya.

Yang menjadi persoalan adalah dalam jenis argumentasi mana pun, mimik atau raut wajah tidak pernah dianggap sebagai reliable evidence (bukti yang handal) untuk membuktikan motif tertentu!

***********

Akhirnya, mengutip Walton lagi, relevansi adalah masalah logika ketimbang masalah hukum. Ia menghubungkan antara factum probans (fakta-fakta yang diajukan sebagai bukti) dan factum probandum (fakta atau proposisi yang hendak dibuktikan) di pengadilan. Persoalannya adalah dua "gebrakan" dari tim pengacara BG di atas, simply put, tidak relevan!

Referensi:


  1. Douglas Walton, Legal Argumenation and Evidence (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 2002).
  2. Douglas Walton, Argumentation Methods for Artificial Intelligence in Law (Berlin, Heidelberg: Springer, 2005).
  3. Douglas Walton, Witness Testimony Evidence: Argumentation, Artificial Intelligence, and Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008).
  4. Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2008).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun