[caption id="attachment_396138" align="aligncenter" width="624" caption="Kuasa hukum Budi Gunawan dan KPK tengah menyerahkan bukti kepada hakim praperadilan dalam sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Selasa (10/2/2015). (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)"][/caption]
Saya baru saja mengikuti kuliah mengenai pemikiran-pemikiran profesor Douglas Walton mengenai logika. Walton adalah Distinguished Research Fellow of the Centre for Research in Reasoning, Argumentation and Rhetoric (CRRAR) di University of Windsor, Kanada. Walton juga terkenal sebagai seorang pakar logika yang mayoritas tulisannya berkenaan dengan argumentasi hukum (legal argumentation). Termasuk karya-karyanya dirujuk sebagai acuan tentang bagaimana mengevaluasi kesaksian seorang saksi ahli dalam argumentasi hukum. Ini menjadi menarik bagi saya, karena saya sudah tidak sabar menanti reportase tentang saksi ahli yang akan diajukan tim pengacara BG dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan besok (Rabu, 11/2/2015). Mudah-mudahan, saya bisa mengontekstualisasikan pemikiran-pemikiran Walton dalam kasus ini nanti.
Untuk sementara, saya mengikuti sidang praperadilan BG (Selasa, 10/2/2015) dengan membaca dua reportase di Kompas.com. Pertama, mengenai saksi yang dihadirkan tim pengacara BG, yaitu Hendy F. Kurniawan - mantan penyidik KPK sejak Maret 2008 hingga Oktober 2012. Dan kedua, pengajuan rekaman video berkait mimik AS dan BW yang terkesan mengejek.
Kesaksian
Dalam tulisan saya dulu, saya sudah menjelaskan mengenai sesat pikir "ikan merah" (red herring fallacy). Tulisan ini khusus membahas tentang argumen "ikan merah" dalam konteks diskusi argumentatif. Tetapi, argumen ikan merah juga sering terjadi di dalam konteks argumentasi hukum (legal argumentation).
Misalnya, Douglas Walton dalam Legal Argumentation and Evidence, menyatakan bahwa tidak semua testimoni dalam sidang dapat dianggap sebagai bukti, jika testimoni tersebut tidak relevan dengan kasus yang sedang diperkarakan. Sebuah testimoni yang tidak relevan dengan kasus yang ada secara natural akan diikuti dengan konstruksi argumen ikan merah. Dalam bukunya yang lain: Witness Testimony Evidence: Argumentation, Artificial Intelligence and Law, Walton mengategorikan kasus pemberian testimoni seperti ini sebagai defeasible testimony (kesaksian yang dapat dianulir).
Kesaksian Kurniawan yang dapat Anda baca di Kompas.com memang merupakan sebuah kesaksian yang tidak relevan. Tidak relevan, karena kasus yang sedang diperkarakan adalah status tersangkanya BG, sementara Kurniawan memberikan kesaksian mengenai sebuah peristiwa spesifik yang lebih awal (earlier) dari kasus yang sedang di perkarakan.
Menurut tim pengacara BG, kesaksian Kurniawan relevan dalam kapasitas sebagai salah satu contoh kasus yang memperlihatkan ketidakkredibelan KPK. Ini adalah argumen ikan merah karena asumsikan saja bahwa isi testimoni Kurniawan benar mengenai kasus pada tahun 2012, itu tidak serta merta membuktikan bahwa penetapan status tersangka bagi BG oleh KPK dilakukan tanpa bukti sekarang! Ini satu hal.
Hal lainnya adalah tampaknya tim pengacara BG sedang membangun argumen analogis (analogical argument)Â berdasarkan kesaksian Kurniawan. Dianalogikan bahwa kasus tahun 2012 sama seperti kasusnya BG di mana KPK menetapkan status tersangka tanpa bukti. Ini adalah weak analogical argument (argumen analogis yang lemah), karena tim pengacara BG semata-mata mengasumsikan bahwa status tersangka BG dituai tanpa bukti. Padahal, logically, kasus tahun 2012 yang disaksikan Kurniawan barus bisa disebut analogis dengan kasus BG, jika tim pengacara BG memiliki bukti mengenai ketiadaan bukti status tersangka BG.
Maka saya sepakat dengan hakim Zarpin Rizaldi yang sependapat dengan pihak KPK yang menilai bahwa kesaksian Kurniawan tidak relevan dengan kasus yang sedang diperkarakan!
Mimik