Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(MPK) Kegelapanpun Punya Cahaya (2-Habis)

11 Juni 2011   14:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seattle,4 Juni 2011

Sepasang Kakimu yang Berlumpur

Dear Nara,


Semalam gerimis turun dan berbisik lembut pada sang dedaunan. Basahnya meninggalkan jejak kaki pada tanah yang begitu becek dan kotor. Dan, tiba- tiba saja aku jadi teringat pada sepasang kakimu yang berlumpur. Yah, sepasang kakimu yang kerap dipenuhi oleh basahnya air hujan dan kotornya tanah yang tak beraspal. Hmmmph… mungkin kamu tak begitu sempurna menjahit sepatumu, hehehe…

Pagi ini belum sempurna. Nara…karena mentari masih bersemayam di balik gulita dan dinginnya sampai menusuk kulit ari ariku. Tapi, ada satu yang membuat pagi ini begitu sempurna. Yaitu ketika aku menerima surat balasan darimu. Uh..senangnya. Ternyata kamu masih mengingatku dan itu adalah suatu kebahagian tersendiri bagiku.

Yah, Nara…aku masih ingat dan akan selalu mengingatnya ketika kamu mengajak aku berjalan di pematang sawah di Pejagan dengan dipenuhi hamparan padi yang mulai menguning. Aku selalu teringat,bagaimana kamu mengajari aku hidup dengan suasana pedesaan. Kamu memang desa banget..! hahhaha. Tapi aku suka itu,karena semua yang aku alami di dekat rumahmu itu tak akan aku temui lagi di sini.

Nara, kenangan masa kecil kita terlalu indah untuk dibuang begitu saja. Makanya izinkan aku untuk menyimpannya di dalam almari hatiku yang paling dalam, yah? Karena di dalamnya ada sejuta kecengenganku, keisenganmu, kebandelanmu, keangkuhanku, gelak tawa kita, dan serta sejuta perjalanan prestasi kita.

Oiyah, bagaimana kabarmu setelah aku meninggalkan Pejagan-mu tanpa pamit? Alhamdulillah kabarku baik- baik saja dan kehidupanku normal- normal saja. Hmmm bahagia? Mungkin, karena di sini tidak ada lagi orang yang membuat aku cengeng dan tak ada lagi orang iseng yang selalu menjahiliku.

Duh, aku menjadi merasa bersalah padamu. Tapi satu hal yang membuat aku tak pernah mengajakmu untuk naik mobil jemputanku. Itu karena kakimu selalu berdebu dan berlumpur. Aku takut papiku marah Nara…

Maaf beribu maaf yah Nara. Kamu pasti mau maafin aku kan?

Nara, aku tidak pernah menyangka sedikitpun kalau kita akan di pertemukan lagi. kini keadaan telah jauh berubah, kau telah mejadi pria dewasa dan aku telah menjadi seorang perempuan dewasa pula.

Nara, gemericik air sungai yang jernih, hamparan padi yang mulai menguning, jalanan yang berdebu tak beraspal di musim kemarau, tanah yang becek dan berlumpur di kala hujan mengguyurnya, nyanyian semesta alam di waktu malam diiringi gesekan suara ranting yang patah semuanya tidak mungkin aku lupakan. Begitupun dengan dirimu.

Nara, bila ketidak pamitanku kepadamu membuat luka hatimu, aku mohon maaf. Aku menghilang darimu bukan berarti aku akan menghilangkan semua jejak kenangan masa kecil kita. Tak sedikitpun aku berniat menghilang dan menghapus tentangmu dari kehidupan masa kecilku. Karena bagaimana pun juga aku telah menempatkan kamu pada bagian sisi hatiku dan kamu akan selalu hidup diruang hatiku.

Sebelum aku pergi, aku sempat menitipkan segores kata pada langit yang biru. Sebait pesan pun telah aku torehkan pada segumpal awan yang putih.

Dan sekarang, ternyata langit telah menyampaikan pesanku itu padamu hingga kita di pertemukan disini. Nara, sekarang kita ada disini.

Ayu Widasari.

Bangkalan, 9 Juni 2011

Ingat Sepatuku yang Rusak Itu

Dear Ayu,

Di sini suasana begitu kacau. Membalas sering terlupa, hanya untukmu aku menyempatkan diri membalas. Karena untuk lainnya aku tidak ingin membalas kecuali untuk kebaikan. Maka untukimu adalah kebaikan.

Baiklah, aku cukup tahu bagaimana kamu setelah meninggalkan Madura. Melalui suratmu aku cukup tahu kamu bahagia meski kau bungkus dengan kata ”mungkin”. Kamu memang tak pernah tegas dengan kata bahagia atau susah. Seperti dulu kamu resah dengan nilai raport-mu yang tak lebih baik dari aku. Aku melihatmu resah tapi selalu tersenyum. Entah senyum itu hanya untukku atau juga orang lain. Aku rindu senyuman itu.

Sekarang kita ada di tempat yang berjauhan. Beda benua, beda waktu, beda musim, beda pendidikan. Semua perbedaan itu begitu alami. Seperti sepatu yang akan rusak setelah terlalu lama dipakai. Jika diperbaiki maka rusaklah lagi hingga akhirnya tak bisa dipakai lagi. Saat kamu masih di Madura, kamu tidak pernah melihatku bersepatu baru bukan?

Bahkan ketika semua berseragam, bertas dan bersepatu baru, aku tetap dengan perlengkapan yang itu-itu saja. Saat itu, terima kasih telah bertanya; ”Di mana seragam barumu?” Maaf baru bisa aku jawab sekarang. Seragam baruku tak terbeli.

Ayu, sejak kamu meninggalkan Madura di hari itu, seminggu setelah itu aku diberhentikan. Aku putus sekolah. Nyaris tidak bisa bersekolah lagi hingga akhirnya lulus. Saat ini aku mulai banyak belajar bahwa orang miskin jarang diperbolehkan sekolah. Aku merasakannya.

Aku akan berkisah, tapi tak panjang. Tak akan juga pendek sehingga kamu tak bosan atau tak penasaran kubuat. Cerita ini sungguh berawal dari kepergianmu. Di hari semua keberanian aku kumpulkan untuk bicara denganmu tentang kesulitan, tentang sayang, dan tentang apa saja yang ingin aku sampaikan. Hari itu, saat kepergianmu aku berencana memintamu membantuku.

Aku hanya bisa melihatmu pergi setelah berpamitan. Aku yang merasa spesial di hadapanmu, ternyata tak seperti itu. Kamu tidak pernah menoleh melihat mataku saat pergi meninggalkan sekolah dan pergi entah ke mana.

Sehari sebelum kepergianmu kepala sekolah memanggilku. Kamu pernah bertanya: ”Kenapa dipanggil kepala sekolah?” Aku tidak karena sama sekali tidak tahu isi surat itu. Surat yang ditipkan untukibundaku. Seharusnya isi surat aku ceritakan di hari saat kepergianmu. Sudah terlambat tapi kamu perlu tahu, karena seharusnya aku menyampaikan ini 13 tahun lalu.

”Dengan ini kami sekali lagi mengingatkan pada wali murid Nara Akhirullah bahwa siswa yang bersangkutan sudah 3 bulan belum melunasi Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Maka dengan datangnya surat ini kami memberikan kesempatan pada wali murid yang bersangkutan segera menyelesaikan tunggakan tersebut. Jika dalam 7 x 24 jam belum ada proses penyelesaian, maka dengan sangat terpaksa kami akan memberhentikan pendidikan terhadap siswa yang bersangkutan.”

Ayu, itu tadi sepenggal isi surat dari kepala sekolah 12 tahun lalu yang aku ingat sampai sekarang. Isinya tidak cuma itu, juga ada rincian rupiah yang harus dibayar ibundaku yang kamu tahu hanya berjuang sendiri buat menghudupi keluargaku. Surat itu seperti benda gelap yang setelah dibuka dan disinari tetap gelap dan menciptakan kegelapan. Seperti kertas terbang berbentuk dan sebesar pesawat jatuh menghujam di rumahku. Mengenai aku, adik-adikku, dan ibundaku.

Tapi ibundaku bukan orang yang sabar. Dia meminta aku bersiap untuk benar-benar tak sekolah. ”Kalau gelap rumah kita ya gelaplah sudah.Biarkan saja suasana menjadi gelap. Tapi kamu (aku) jangan berhenti percaya bahwa kegelapanpun punya cahaya,” kata ibundaku yang kini sudah sepuh usianya.

Toh sudah lama aku terbiasa dalam keadaan gelap yang sebenarnya–karena memang tak mampu membayar pemasangan dan iuran listrik. Tapi aku merasa terlalu pintar untuk berhenti sekolah, meski akhirnya aku benar-benar berhenti dari sekolah kita itu.

Oiya, teman-teman kita itu tak ada yang peduli. Mereka sama sekali tidak kehilangan aku seperti aku kehilangan kamu. Tapi sudahlah, mereka memang lebih baik tetap belajar tanpa perlu memikirkan apalagi merasakan kehilangan aku.

Lalu aku mulai berjualan es lilin, koran, permen, air dan koran di jalan. Jadilah aku anak jalanan hingga akhirnya aku bertemu dengan anak-anak jalanan lainnya. Kami belajar dari kehidupan. Jalanan adalah bangku, guru kami koran, kepala sekolah kami adalah diri sendiri. Tak ada rangking di kelas jalanan. Yang ada hanya siapa yang berhasil menjual banyak koran dan dagangan lainnya.

Aku harap kamu tidak berkecil hati berteman dengan anak jalanan ini. Anak jalanan yang punya banyak teman di jalanan. Anak jalanan yang punya sedikit uang dari hasil berjualan. Anak dekil yang memberanikan diri untuk datang ke sebuah yayasan pendidikan. Hanya rezeki anak jalanan yang kembali bisa bersekolah dengan seragam, tas, sepatu dan buku bantuan. Tapi setidaknya aku akhirnya bersepatu, berseragam dan punya tas baru setelah 8 tahun bersekolah tanpa itu semua.

Lima anak jalanan lainnya, yang tumbuh di jalanan bersama denganku juga ikut di sekolah itu. Aku memberitahu mereka bahwa ibundaku pernah mengatakan ini: ”Kegelapanpun punya cahaya”. Kami akhirnya tumbuh menjadi siswa pintar karena terlalu banyak membaca dagangan kami, koran. Aku lulus sekolah SMP di sekolah yayasan itu, aku diberi bekal uang untuk melanjutkan sekolah SMA negeri di kota kita dulu.

Aku menjadi tidak terlalu pintar di SMA tapi cukup untuk menjadikan aku salah satu dari beberapa yang mendapat beasiswa kuliah. Aku kuliah, lulus, menjadi jurnalis–lalu berhenti, kini duduklah aku di kursi ini. Di kursi sebuah perusahaan, menemukanmu berkat langit. Langit yang kegelapannya tetap bercahaya.

Aku tidak menyangka bisa benar-benar menemukanmu lagi di kehidupan ini meski begitu jauh. Makasih Ayu sudah mengingat sepatuku yang rusak itu.

Nara Akhirullah.

Nomor 98: Nara Akhirullah+ Ayu



Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun