Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih terus mengutak-atik kebijakan dan langkah yang akan diambil untuk mengurus sampah. Terakhir muncul isu dan ramai diperbincangkan adalah penutupan Tempat Pemrosesan (Pembuangan) Akhir (TPA) Sampah Regional Piyungan.
TPA Piyungan merupakan TPA bagi sedikitnya tiga kabupaten/kota di bawah DIY. Wilayah yang membuang sampahnya ke TPA Piyungan yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (Kartamantul). Selain tiga kabupaten/kota itu apakah ada wilayah lain yang sampahnya masuk? Itu memerlukan investigasi yang lebih dalam. Namun, sampah dari tiga wilayah itu saja sudah cukup membuat TPA Piyungan overload.
Menurut catatan, TPA Piyungan sudah mendekati kondisi maksimal menampung sampah sejak 2017. Dengan volume sampah rata-rata per hari 700-800 ton masuk TPA Piyungan hingga tahun 2021, maka pada tahun 2022 TPA Piyungan dinyatakan over capacity.
Mei 2022, Dinas Pekerjaan Umum DIY mengeluarkan surat edaran mengenai overload-nya TPA Piyungan. Dua bulan kemudian TPA Piyungan ditutup 14 hari untuk optimalisasi lahan. Tujuannya supaya bisa menerima sampah baru lagi di lahan 12,5 hektare itu.
Setelah optimalisasi lahan dilakukan, TPA Piyungan dibuka kembali hingga akhir 2022 dan kondisinya semakin overload. Januari 2023 Pemerintah DIY mencari alternatif untuk membuat TPA baru tapi belum dapat hingga saat ini.Â
Juli 2023 TPA Piyungan ditutup 40 hari, lagi-lagi untuk optimalisasi lahan supaya bisa dijejali sampah. Kemudian dibuka lagi, dan sampah baru masuk lagi dari Karmantul.Â
Masuk 2024 kondisi TPA Piyungan semakin makin parah overload-nya. Isu beredar santer Pemerintah DIY akan menutup TPA Piyungan secara permanen dan menjadikannya ruang terbuka hijau (RTH).
Sekarang yang sedang kebingungan adalah para bupati dan wali kota yang wilayahnya membuang sampah ke TPA Piyungan. Bupati dan wali kota itu menyerahkan tanggung jawab masalah sampah itu pada kepala dinas lingkungan hidupnya (DLH) masing-masing. Para kepala DLH kini berharap-harap cemas menunggu arahan lanjutan terkait adanya isu penutupan permanen TPA Piyungan itu.
Berbagai Upaya Mengatasi Sampah DIY
DIY bukanlah tempat yang terisolir dan tidak ada orang pintarnya. Di Yogyakarta ini justru gudangnya orang-orang pintar. Ada banyak kampus dan universitas yang memiliki fakultas lingkungan. Sejumlah tokoh persampahan juga berasal dari Yogyakarta.Â
Namun rupanya kepintaran dan ketokohan-ketokohan itu belum bisa menyelesaikan persoalan sampah di Yogyakarta. Berbagai upaya juga telah dilakukan Pemerintah DIY dan Kartamantul untuk mengurus dan mengurangi volume sampah masuk ke TPA Piyungan.
Mulai dari merencanakan perluasan lahan TPA Piyungan, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pembangkit Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL), mendirikan ratusan hingga ribuan bank sampah, menetapkan peraturan pemilahan sampah, memberlakukan denda bagi yang tidak memilah sampah, memberi dana tiap kelurahan untuk mengolah sampah organik, dan banyak lagi upaya lainnya.
Tapi sayangnya, dari semua upaya itu belum membuahkan hasil. Upaya-upaya sanksi yang hendak diterapkan pada masyarakat dan keberadaan pengelola-pengelola sampah di masyakarat rupanya belum signifikan mengurangi volume sampah ke TPA Piyungan.
Apa yang salah dengan semua upaya Pemerintah DIY dan Kartamantul itu?
Tidak ada satu pun yang salah. Hanya saja ada yang ketinggalan sebagai dasar dari segala upaya mengurus sampah itu. Yaitu, penerapan regulasi Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).Â
Dimulai dari azas pengelolaan sampah, hak dan kewajiban, pemenuhan kebutuhan suprastruktur dan infrastruktur pengelolaan sampah, tanggung jawab pengelola kawasan, pengenaan tanggung jawab produsen yang produk atau kemasannya jadi sampah, hingga insentif pengurangan sampah oleh masyarakat.
UUPS hanya dipakai sepotong-sepotong oleh pemerintah untuk menekan masyarakat agar patuh dalam pengelolaan sampah. Sementara pemerintah sendiri belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang tertera dalam UUPS itu sendiri.Â
Kondisi itu akhirnya tidak bisa mempertemukan kepentingan masyarakat dan pemerintah di satu titik. Keduanya saling menuntut dan saling ngotot untuk mendapatkan haknya karena merasa sudah menjalankan kewajibannya masing-masing.Â
Masyarakat merasa sudah menjalankan kewajibannya dengan membayar retribusi. Pemerintah merasa sudah melaksanakan kewajibannya dengan mengurus sampah.Â
Masyarakat menuntut haknya supaya sampahnya diangkut dan dibuangkan. Pemerintah menuntut hak supaya masyarakat patuh pada peraturan pengurangan dan pengendalian sampah. Keduanya tidak akan pernah bertemu.
Kuncinya Desentralisasi Pengelolaan Sampah
Banyak pihak yang salah pengertian dan salah paham tentang desentralisasi pengelolaan sampah. Para pihak yang salah paham itu berpikir desentralisasi pengelolaan sampah adalah dengan membangun TPA-TPA di setiap kabupaten/kota (seperti yang akan terjadi di DIY untuk menggantikan TPA Piyungan).Â
Ada juga yang berpikir bahwa desentralisasi pengelolaan sampah itu berarti membangun instalasi-instalasi pengelolaan sampah di setiap desa atau kelurahan. Instalasi-instalasi pengelolaan sampah inilah yang nantinya akan mengolah sampah dari masyarakat.
Petugas instalasi itulah yang akan mengangkut sampah tercampur dari rumah-rumah warga (sumber sampah), kemudian akan dipilah dan diolah lagi di instalasi pengelolaan sampah itu. Ini adalah pemahaman desentralisasi pengelolaan sampah yang salah sepenuhnya.
Yang benar itu begini: desentralisasi pengelolaan sampah adalah pengelolaan sampah yang terdesentralisasi sampai sumber sampahnya. Meminjam istilah Titik Nuraeni, inisiator Sekolah Sampah Nusantara (SSN): pengelolaan sampah sampai tapak rumah tangga.
Caranya dengan memberikan infrastruktur pemilahan sampah di setiap sumber sampah/ tapak rumah tangga. Beri setiap rumah tangga komposter dan trasbag untuk mengelola sampahnya masing-masing. Dengan begini masyarakat akan memproduksi bahan baku untuk produksi daur ulang teknis dan biologis dari sampah anorganik dan organik.
Trashbag untuk menampung bahan baku daur ulang teknis seperti plastik, kertas, karton, kaleng, dan sampah anorganik lainnya. Komposter untuk memproduksi bahan baku biologis dari organik untuk dijadikan pupuk organik berbahan baku sampah organik domestik.
Bentuk pula suprastruktur pengelola sampahnya. Ada yang bagian dan khusus untuk mengedukasi masyarakat supaya cermat dan optimal mengelola sampahnya untuk dijadikan bahan baku daur ulang teknis dan biologis. Dan ada bagian yang khusus menjemput, menimbang dan memberikan insentif pada masyarakat sebagai upah atas produksi bahan baku daur ulang tadi.
Instalasi pengolahan sampah memang dibangun. Bisa dibangun di setiap desa/kelurahan atau di setiap kecamatan. Guna instalasi pengolahan sampah ini bukan lagi untuk memilah sampah tercampur dari warga seperti pikiran yang salah itu. Instalasi pengolahan sampah yang benar adalah untuk mengolah bahan baku daur ulang teknis dan biologis dari masyarakat tadi untuk menambah nilainya.
Setelah diperbaiki kualitas bahan baku daur ulang teknis dan biologis menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi, selanjutnya dijual ke pengguna. Hasilnya pasti bisa memenuhi kebutuhan operasional instalasi dan memberi insentif pada masyarakat.
Begitulah desentralisasi yang benar. Tujuannya supaya pengelolaan sampah bisa membiayai dirinya sendiri dari hasil daur ulang dan peningkatan nilainya. Bukan terus-terusan merongrong anggaran pemerintah dan menarik retribusi dari masyarakat. Yang ini justru memberi uang ke masyarakat dan memberi untung ke pemerintah.
Kunci dari pengelolaan sampah adalah menahan selama mungkin di sumbernya. Itu untuk memotong biaya terbesar dari penanganan sampah, yaitu menjemput sampah setiap hari.
Kartamantul Bisakah Punya TPA Masing-Masing?
Jika TPA Piyungan ditutup permanen, cara termudah yang akan jadi solusi wilayah-wilayah yang membuang sampah ke TPA Piyungan adalah membangun TPA masing-masing. Kota Yogyakarta akan membangun TPA sendiri. Kabupaten Sleman akan bangun TPA juga. Kabupaten Bantul pasti juga akan membangun TPA.
Namun bisakah tiga kabupaten/kota itu membangun TPA? Jawabannya, bisa. Tapi tidak akan mudah.
Keinginan tiga kabupaten/kota untuk membangun TPA itu akan menghadapi banyak tantangan. Pertama, kemungkinan akan kesulitan mencari lahan yang tepat untuk membangun TPA.Â
Kedua, kalau lahan sudah didapat, maka analisis dampak lingkungan (AMDAL) kemungkinan akan sulit keluar kecuali dipaksakan.Â
Kalau AMDAL keluar, kemungkinan akan ada protes dari masyarakat. Karena masyarakat sudah tahu dampak lingkungan dari adanya TPA. Pencemaran TPA mencakup tanah, air, dan udara.Â
Kendati ada kompensasi bagi warga sekitar TPA, kompensasi itu tidak akan menutup kerugian yang akan dialami masyarakat sekitar TPA. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H