Atas keterpaksaan itu, maka anggaran untuk mengelola sampah dari TPA harus dialihkan. Anggaran dari mengandalkan TPA menjadi tanpa TPA pastinya sangat besar. Karena sistemnya masih sentralistik. Yaitu, memindahkan masalah sampah dari sumber timbulannya ke instalasi pengganti TPA yang ditutup warga itu. Memang sudah lumayan tak terlalu sentralistik karena sampah tidak lagi menuju satu titik di TPA. Karena Pemkab Banyumas kemudian membangun banyak instalasi pengelolaan sampah.
Menurut catatan, volume sampah di Kabupaten Banyumas 532-550 ton/hari. Sampah itu sebagian besar berasal dari perkotaan, yaitu 300-350 ton/hari. Disebutkan, sampai tahun 2018, sampah sepenuhnya dibuang ke TPA. Meski TPA-nya sudah berstatus sanitary landfill, prakteknya tetap open dumping. Sebab, tidak ada pemilahan di hulu. Anggaran yang diserap untuk model pengelolaan sampah seperti itu jelas besar.
Seharusnya TPA sanitary landfill tidak mendatangkan masalah. Karena sistem pengelolaannya sangat baik jika dijalankan secara benar. Tapi karena operasionalnya tetap sebagaimana TPA open dumping, masalah pun datang. Warga sekitar TPA berdemo perihal TPA itu karena dampak pencemaran. Tidak hanya berdemonstrasi, warga juga menuntut agar TPA itu ditutup secara permanen.
Karena kejadian itu, Kabupaten Banyumas mengalami darurat sampah selama 6 bulan dari Januari- Juli 2018. Dampaknya, sampah ada di mana-mana karena pengangkutan berhenti. Kondisi sampah di Banyumas naik status menjadi darurat hingga sampah sementara waktu dieksekusi dan sementara "dibuang" di kawasan Gedung Olah Raga (GOR).
Singkat cerita, Pemkab Banyumas bergerak cepat. Membuat skema pengelolaan sampah baru. Dibuatlah aplikasi untuk pengelolaan sampah. Ada Sampah Online Banyumas (Salinmas) atau Go Sampah dan Jeknyong Banyumas atau Ide Baru Memilah Sampah (IBMS). Setidaknya dua aplikasi itu dipakai sebagai media memberikan keuntungan pada warga Banyumas yang mau mengelola sampahnya. Terutama sampah yang bernilai ekonomis.
Dibangun juga 29 Tempat Pengolahan Sampah (TPS), TPS Reduce Reuse Recycle (TPS3R), dan Pusat Daur Ulang Sampah (PDUS) di seluruh Banyumas. Setiap intalasi pengelolaan sampah itu luasnya 600-1200 meter persegi. Namun, sistem pengelolaan sampah dengan 29 instalasi pengelolaan sampah itu tetap sama dengan saat menggunakan TPA sampah.
Masyarakat tetap tidak melakukan pemilahan sampah kecuali sedikit untuk dijual melalui aplikasi Salinmas dan Jeknyong. Sehingga sampah tercampur masih banyak. Sampah tercampur itu kemudian diangkut oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) ke instalasi pengelolaan sampah. Di instalasi itulah sampah warga itu kemudian dipilah lagi dengan bantuan alat berat, conveyor, dan manusia. Sampah yang masih bisa dipungut untuk dijual, dikumpulkan.
Hasil dari pungutan sampah tercampur itu ada yang jadi kompos, pakan maggot, bijih plastik dan rongsok, anorganik untuk bahan baku RDF (Refuse Derived Fuel)- paving plastik - genteng plastik. Sisa dari semua itu tetap ada berupa residu yang dibakar dengan kiln hingga jadi abu untuk dikembalikan ke alam.
Hasil dari pengelolaan sampah organik dan anorganik itu telah diserap dengan sistem kerjasama oleh perusahaan dan Pemkab Banyumas sendiri. Kapasitas sampah yang bisa dikelola oleh 29 instalasi pengelolaan sampah itu mencapai 15 ton per hari. Itu berarti volume sampah di Kabupaten Banyumas bisa dihabiskan oleh 29 instalasi TPS/ TPS3R/ PDUS itu.
Dengan anggaran Rp 2,3 miliar untuk pembangunan masing-masing instalasi pengelolaan sampah, Pemkab Banyumas mestinya bisa membangun lebih banyak lagi instalasi pengelolaan sampah. Maka tak heran jika Kabupaten Banyumas banyak mendapatkan penghargaan karena pengelolaan sampah. Mulai dari penghargaan Adipura, kunjungan Menteri LHK, penghargaan Adiwiyata dan lain sebagainya.