Pengurangan sampah dengan sistem pemilahan organik dan anorganik sebenarnya bukan hal baru. Teknologi komposting juga bukan hal baru di Indonesia. Tapi, kenapa banyak komposter mangkrak, tidak berguna, dan tidak terpakai?
Khusus untuk aspek teknologi (di antara 6 aspek pengelolaan sampah). Komposting adalah teknologi lawas yang ada kaidahnya. Untuk penggunaan komposter, maka struktur dan sistem serta berbagai keperluan pelengkapnya harus sesuai.Â
Kegagalan komposting pada umumnya disebabkan struktur komposter, mikro bakteri, dan perlakuan tambahan lainnya.
Salah Struktur Komposter
Komposter adalah alat pengomposan sampah organik secara aerob. Komposter dibuat tertutup, namun tetap memberi jalan agar udara bisa keluar masuk komposter. Sebab, proses dekomposisi membutuhkan oksigen agar tidak atau mengurangi terciptanya gas metana yang khas bau sampah itu.
Dalam proses komposting/dekomposisi sampah organik pasti terjadi pematusan. Sampah organik rumah tangga dan sejenis rumah tangga di Indonesia mengandung kadar air hingga 50% lebih.Â
Itulah mengapa, sampah organik Indonesia sebenarnya sama sekali tidak cocok untuk dibakar dengan teknologi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Dengan kondisi sampah yang basah itu, maka komposter harus dan wajib menyediakan ruang untuk proses pematusan itu. Sehingga, sisa pematusan bisa jatuh terpisah dengan maksimal. Di mana sisa pematusan itu juga akan bermanfaat nantinya untuk dijadikan pupuk cair organik, atau eco enzime.
Di banyak tempat, banyak komposter mangkrak dan tidak dipakai lagi karena strukturnya salah. Tidak sesuai dengan kaidah komposting yang seharusnya sehingga gagal menghasilkan kompos dari sampah.Â
Salah Pakai Mikroba