Secara administrasi dan geografis, desa/kelurahan merupakan lingkup pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Sehingga pemerintah desa diharapkan dapat memberikan solusi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Tidak terkecuali dalam urusan pengelolaan sampah.
Saat ini, seiring dengan terus meningkatnya populasi di desa maka meningkat pula potensi timbulan sampahnya. Makin baiknya infrastruktur transportasi dan pembangunan di desa juga membuat berbagai produk mampu menjangkau hingga
ke pelosok.
Situasi itu pada akhirnya akan berdampak pada makin beragamnya bentuk fisik, jenis, dan unsur potensi sampah yang timbul hingga pelosok desa. Pada umumnya desa tidak siap menghadapi potensi volume timbulan sampah yang kian meningkat tersebut.
Sebagian besar desa/kelurahan masih mengandalkan cara lama dalam pengelolaan sampah. Bagi desa/kelurahan yang dapat dijangkau oleh Dinas/Badan Lingkungan Hidup, timbulan sampah diangkut dan dibuang ke Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Sedangkan desa/kelurahan yang tidak terjangkau pengangkutan sampah oleh dinas terkait maka sampah
dikelola dengan dibuang secara ilegal dumping, dikubur, dibuang ke sungai/danau/laut, dibakar atau dibuang ke TPA yang dibangun oleh Pemerintah Desa.
Cara lama dalam mengelola sampah dengan membuat TPA di desa bukanlah solusi yang tepat. Cara-cara tersebut hanya menunggu waktu untuk menimbulkan masalah dari sampah yang ditimbun di TPA.
Sebab, seiring waktu berjalan sampah tidak akan berkurang atau habis dengan sendirinya. Sebaliknya, sampah akan terus bertambah dan bertambah. TPA akan penuh. Dampak pencemarannya akan diderita lingkungan di desa. Pencemaran akibat sampah akan berdampak negatif pada udara, air, dan tanah di desa serta pada kesehatan manusia di sekitar TPA.
Cari Untung dengan Bangun TPA Desa
Konsep sentralisasi pengelolaan sampah dengan TPA memang sangat menggiurkan keuntungannya. Desa melalui Karang Taruna, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), atau pengusaha lokal bisa dengan mudah dapat uang dengan pola TPA ini. Caranya, dengan memungut retribusi/iuran/kewajiban kebersihan pada warga atau penimbul sampah.
Keuntungan melalui cara itu akan lebih besar lagi jika ada desa sebelah atau desa lain ikut buang sampah di TPA desa itu. Maka, tarif membuang sampah di TPA akan diberlakukan sebagaimana TPA pada umumnya yang dikelola pemerintah daerah. Potensi duit lebih besar lagi kalau ada industri atau perusahaan mau buang sampah di desa itu.
Industri atau perusahaan akan rela keluarkan uang besar untuk buang sampah di TPA Desa, karena peraturan tidak memperbolehkan mereka buang sampah di TPA milik pemerintah. Mereka pasti siap membayar tarif berapapun untuk bisa membuang sampahnya.
Potensi keuntungan dari memungut retribusi atau tarif buang sampah ke TPA memang besar. Tapi sebesar apapun potensi keuntungan itu, pasti kalah dan akan habis untuk membiayai kerusakan dan kerugian lingkungan desa akibat sampah di TPA itu.
Suatu saat, TPA Desa pasti akan kemasukan sampah bahan berbahaya beracun (B3). Cepat atau lambat pasti masuk karena minimnya pengetahuan pengelola TPA Desa soal sampah dan lingkungan. Sebab yang dipentingkan adalah retribusi dan tarif pembuangan sampah.
Jika itu sudah terjadi, maka malapetaka akan datang. Sampah akan mendatangkan penyakit lewat udara, tanah, dan air. TPA Desa bisa "membunuh" semua yang ada di desa itu sampai habis tidak tersisa. Pertanian akan mati, karena tanah dan air tercemar sampah. Air bersih sulit dicari karena tercemar lindi sampah. Udara rusak karena tercemar bau dan sisa pembakaran sampah. Dan orang akan sakit karena itu semua.
Desa dengan potensi sampah dan minimnya pengetahuan tentang pengelolaan sampah yang baik dan benar benar-benar dihantui dampak negatif sampah. Jika sampai membangun TPA Desa, maka ancaman negatifnya bertambah berkali-kali lipat. Maka sebaiknya hindari betul membuat TPA Desa. Lebih baik kelola sampah dengan sistem kawasan yang komperhensif.
Membangun TPA Desa Bisa Dipidana
Potensi keuntungan dari retribusi dan tarif buang sampah ke TPA Desa memang menggiurkan. Tapi itu tidak akan lama. Dalam waktu yang tidak terlalu lama akan datang penyesalan karena membangun TPA Desa. Terutama TPA dengan sistem open dumping.
Dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), pemerintah sudah melarang penggunaan TPA open dumping. Pelarangan berdasarkan peraturan akan berdampak hukum hingga pidana. Maka sebaiknya jangan membangun TPA Desa.
TPA yang boleh dibangun adalah TPA control landfill atau sanitary landfill. Yang mana dana desa tidak mungkin bisa membiayai pembangunan TPA dengan metode tersebut.
Jika ada desa membangun TPA, bisa dipastikan itu TPA open dumping. Karena hanya TPA open dumping yang paling murah biayanya dan desa kemungkinan punya kemampuan untuk membangunnya. Di desa, TPA open dumping bisa dibangun tanpa perlu infrastruktur sipil seperti gedung, jalan, dan tempat penampungan sampah.
TPA Desa bisa jadi hanya cukup dibuat dengan cara memilih lahan kosong saja. Atau memilih lahan gunung yang dikeruk untuk dibuangi sampah. Bisa juga memilih lahan dekat tebing atau jurang. Bahkan mungkin lahan dekat sungai atau laut dijadikan TPA Desa.
Semua lahan yang berpotensi jadi TPA Desa hampir bisa dipastikan adalah lahan terbuka. Dan kondisi lahan terbuka di mana pun sangat berisiko dijadikan TPA Desa. Jika itu sudah terjadi, maka dimulailah bencana di desa tersebut. Masalah tidak akan datang secara langsung, tapi berjalannya waktu masalah sampah akan datang berangsur-angsur hingga tak bisa ditangani lagi. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H