Gaji bapak tak pernah sampai ke tangan ibu. Selalu dihabiskan sendiri. Mentraktir teman-temannya makan di warung, itu yang sering dilakukannya. Pernah sekali waktu aku dan ibu pergi ke pasar. Pas lewat di depan warung soto, aku lihat bapak. Sedang asyik ngobrol dengan teman-temannya, ada lelaki dan perempuan. Aku ajak ibu berhenti, lalu kuarahkan telunjukku ke arah warung itu. Ibu hanya menghela nafas melihat bapak ada disana. Lalu mengajakku berjalan lagi.
Aku tak tahu apakah bapak melihatku dan ibu tadi. Aku berharap, nanti bapak pulang membawa soto untuk kami. Sampai di rumah aku tak segera makan walau sudah disuruh oleh ibu. Makan siang untuk bapak sudah disisihkan, dan bapak belum pulang. Jadi aku bisa makan duluan. Mumpung bapak belum pulang, kata ibu, aku harus segera makan. Tapi aku menolak, aku ingin makan soto seperti yang dimakan bapak tadi.
Setelah agak lama menunggu, aku dengar suara sepeda motor bapak. Antara takut dan berharap, aku segera lari ke kamar. Takut untuk melihat wajah bapak dan berharap bapak membawa bungkusan soto. Aku mengintip dari jendela. Tangan bapak tak membawa apa-apa, habis sudah harapanku untuk makan soto.
Aku tetap dikamar. Malas keluar karena ada bapak. Tiba-tiba aku dengar suara bapak membentak ibu. Badanku segera menggigil, jantungku berdegup lebih kencang. Aku dengar suara ibu menangis. Aku mulai ikut menangis. Aku takut keluar, tapi aku juga tak rela mendengar suara ibu menangis. Aku beranikan diri keluar, mengintip ke dapur, dimana ada bapak dan ibu disitu. Aku lihat bapak melempar sesuatu ke arah ibu. Setelah itu tampak dia mau meninggalkan dapur. Sebelum bapak berbalik, aku sudah lari duluan kembali masuk kamar. Tetap diam dan pura-pura tak tahu.
Setelah aku mendengar suara pintu kamar bapak ditutup, yang artinya bapak sudah masuk kamar untuk tidur siang, barulah aku berani keluar kamar. Aku berjalan pelan-pelan menuju dapur. Melihat kedatanganku, ibu segera menghapus air matanya. Aku lihat barang yang dilemparkan bapak tadi, ada di samping ibu. Ternyata gulungan uang, yang lalu diambil oleh ibu. Diperlihatkannya padaku, 5000 rupiah.
*******
Bagitulah cara bapak memberi uang pada ibu. DILEMPARKAN! Tentu saja diawali dengan bentakan. Ibu juga tak pernah minta uang pada bapak jika tidak benar-benar terpaksa. Ibu memilih mencari uang sendiri. Kerja serabutan. Jualan gorengan, jualan kerupuk. Sampai membuka warung kecil-kecilan di rumah. Modalnya ibu pinjam dari PKK. Tapi warung hanya ada pembeli kalau bapak tak dirumah. Teman-temanku tak mau beli jajan di warung ibu kalau bapak lagi di rumah. "Bapakmu galak" Itu yang dibilang oleh teman-temanku.
Lama-lama warung makin besar, jumlah dagangan makin banyak. Tentu saja keuntungan juga makin besar. Tapi keuntungan diputar kembali oleh ibu buat nambah modal. Namun hal ini tek bertahan lama.
Pelan-pelan jumlah dagangan kembali menurun. Aku tak tahu sebabnya. Hingga suatu sore, sepulang bermain aku lihat ibu habis menangis. Aku tanya kenapa, dia hanya menggeleng. Lalu kulihat bapak keluar kamar, sudah berpakaian rapi. Aku tak berani memandang mukanya. Dia hendak berjalan keluar rumah dan saat melewati kami, dia berkata pada ibu dengan kasar "Perempuan itu tak punya hak pegang uang! Perempuan kalau pegang uang jadi banyak tingkah, jadi berani melawan suami"
Tahulah aku, rupanya uang penghasilan ibu diminta secara paksa oleh bapak.
Warung bangkrut dan tutup. Ibu lalu jadi buruh memintal benang. Jadi buruh menenun kain lurik. Jadi buruh membatik, bahkan juga buruh ke sawah. Semua pekerjaan dilakukan ibu demi mendapatkan uang. Untuk makan kami sekeluarga. Untuk ke tetangga kalau tetangga lagi punya kerja.