Sumber Foto : http://news.okezone.com/
Aku masih terpaku dalam diam, seakan membeku dalam tangis. Seluruh persendian tubuhku serasa lepas. Lututku gemetar tak bertenaga. Suaraku serak! Air mataku, entah sudah berapa banyak berlinang. Suara tangis masih terdengar di mana-mana. Lafas dzikir tak henti bergema di hatiku sendiri dan terdengar lantang di sekelilingku. Seakan mimpi! Bumi Aceh dengan sekejap berganti dengan kota mayat! Air laut meluap, melumatkan ribuan manusia! Tubuh manusia menjadi saling tindih-menindih, terlempar dan melumpuhkan Kota Aceh! Dalam hitungan menit! Ya…hanya seper sekian menit saja! Semua menjadi sangat berbeda! Ahh….kepalaku berdenyut hebat! Kemana Mak? Kemana Bang Ilham? Kemana Kak Intan? Kemana mereka?
* * *
Grrm…..drak….! Brak….!
Suara gemuruh. Dinding kamarku bergetar hebat.
“Mutia…..mutia…., bagah beudoh…!” teriak Mak. Tergesa aku bangun dari pembaringan. Tubuhku masih kurang bersahabat setelah dua hari malariaku kumat.
“Mak, gempa ya?” aku melompat dari tempat tidur.
“Cepat keluar rumah! Ayo….” Mak menarik tanganku. Segera kami berkumpul di halaman. Kulihat Bang Ilham dan Kak Intan pun keluar rumah. Para tetanggaku ikut serta keluar rumah, juga Pak Cek Amir adik Ayah yang rumahnya di depan rumahku juga ada.
“Astaghfirllah! Ini gempa terbesar yang pernah kualami,” teriak Pak Cek Ihsan. Tetanggaku, hampir seluruh rambutnya telah beruban.
Lima belas menit kemudian, bumi kembali bergetar lagi! lebih kuat! Nyaliku ciut seketika. Semua duduk di tanah sambil terus berdo’a. Tak ada yang berani bercakap-cakap.
“Lihat! Rumah Lina roboh!” teriak Bang Ilham menunjuk sebuah rumah tak jauh dari rumahku, sekitar 5 rumah dari arah kanan.
“Air! Air! Cepat lari! Ada air….,” sayup-sayup suara teriakkan di arah kejauhan. Terdengar suara gemuruh air. Ggrrr…..
“Cepat lari!”
“Ayoo… Mutia, kamu harus kuat! Kita lari!”
“Cepat! Airnya sudah hampir dekat!”
“Naik! Kita naik saja!”
“Ke atas pohon!” Teriak Bang Ilham
“Aku tak bisa,” teriakku. Kulihat Kak Intan di bantu Bang Ilham menaik ke atas pohon.
Suara teriak-teriakkan bergema. Saling sahut-menyahut. Anak-anak kecil menangis. Bunyi klakson bersahutan. Mereka beramai-ramai berlari. Semua seakan ingin segera sampai ke tempat tujuan tapi kemana? Entah. Wajah-wajah pias, pucat pasi tergambar pada setiap orang yang kutemui di sepanjang jalan. Ada yang mengendong anaknya sambil menangis, ada yang tak sempat mengenakan pakaian hanya berlapis handuk. Mungkin ia baru selesai mandi. Ada juga seorang lelaki tua di bopong anak lelakinya. Sungguh berbakti ia pada orang tuanya. Pada saat situasi gawat begini? Bumi masih saja bergoyang. Dengan sempoyongan aku segera bergegas. Mataku panas, langkahku sudah gontai, gengaman Pak Cek Amir kian kuat.
“Kesana! Ke ruko saja!” teriak Pak Cek Amir menyeret tanganku. Para pengguna jalan kian ramai. Labi-labi, kereta seakan balapan di arena lomba. Tubuhku terdorong ke kanan dan …
“Ahh….mana Mak, Pak Cek?” tiba-tiba tanganku terlepas dari pegangan Mak.
“Mak?”
“Ayo cepat! Air hampir datang!”
“Mak….”
“Ayooo….Mutia!” tarik Pak Cek Amir.
“Maaaak!”
“Mutia nggak mau pisah dengan Mak! Maaak……!” Tapi bayangan Mak tak terlihat lagi. Suasana jalan kian ramai.
Akhirnya kuikuti juga Pak Cek Amir. Kami berlari ke arah ruko yang entah milik siapa. Dan ternyata tak cuma kami berdua, ada beberapa orang yang ikut serta. Tiba-tiba air mengejar ke arah kami. Kami terjatuh, dan tercebur dalam air. Kami berenang dengan susah payah, lalu merangkak menaik ke tangga ruko menuju lantai tiga.
“Air….”
“Ya…Allah!”
“Laa…haula walaa quwwata illaa billaah…”
Pak Cek Amir memelukku erat seraya terus berdzikir! Kami sudah sampai ke lantai tiga. Air setinggi 7 meter mengalir deras, memutar balikkan apa saja di sekitarnya! Tak kenal takut! Air itu seakan marah dan menumpahkan kesombongannya pada benda-benda tak tahu malu di sekitarnya. Ahh…kiamatkah hari ini? Dari atas kulihat gampong-ku sudah penuh air! Semua rata! Ratusan rumah terseret air! Ada Lemari! Kulkas! Tempat tidur! Kursi! Meja! Ya…Allah! Itu…itu…..semua….itu…mereka! Manusia! terseret air, terhempas, tertindih, terkoyak! Semua! Semua …..ah, semua tak lagi bernafas kah? Dari kejauhan tampak tubuh-tubuh manusia terseret, hilang timbul oleh derasnya air.
“Pak Cek….” Aku mulai menangis.
“Dzikir Mutia, dzikir…..” erat Pak Cek memelukku. “Allah sedang menguji kita, kuatkan hatimu! Kuatkan Mutia…”
Huuhhh….huk…huk….suara tangis terdengar bersahutan. Suara dzikir tak kalah kuatnya! Di kejauhan ada yang mengumandangkan azan di atas rumahnya! Ya, mereka sudah di atas atap! Lihatlah begitu derasnya air hingga mereka berusaha menyelamatkan diri di atas rumahnya. Tak banyak. Mereka hanya sekitar 10 orang.
“Mama, aku takut,” seorang bocah menangis dalam pelukan wanita bermata sipit. Mungkin pemilik ruko ini.
“Tenang sayang, kita tidak apa-apa. Ayo sini berpegangan erat. Peluk Mama sayang, Mama tak ingin kehilangan kamu,” tangis wanita itu.
“Mama…., kenapa banyak air? Kenapa bumi goyang-goyang?”
“Sudah ya sayang, nanti saja tanya. Kita duduk dulu, nanti kita jatuh.”
“Mama…” bocah itu mulai menangis lagi.
“Kita akan mati! Hari ini sudah kiamat!” teriak seorang lelaki tambun sambil bersujud dan terus berteriak. “Tuhan, ampuni aku!” suaranya menghibah-hiba sambil menatap langit.
Di luar air telah mengalir deras. Menyeret semua serpihan rumah yang telah hancur berkeping-keping. Sejauh mata memandang hanya air, air dan air. Ada apa semua ini? mengapa seperti kisah Nabi Nuh yang pernah kudengar ketika kecil dulu? Kemana perahunya yang bisa menyelamatakan kami? Ohh…kenapa laut berpindah ke arah rumah kami? Aku tak mengerti! Nantilah bila sudah terbangun dari mimpi akan kutanyakan pada Bu Guru Laila mengapa laut berpindah. Eh, benarkah aku sedang bermimpi? Kucubit lengan kananku. Ugh! Sakit! Ah, ini nyata? Lalu….aku harus bagaimana? Dikejauhan terlihat satu atau dua buah meunasah yang tetap berdiri, tak hanyut, selebihnya? Air, air, dan air saja. Waktu seakan tak punya jeda. Namun akhirnya air surut jua.
“Toloooong……!” sebuah teriakan dari luar ruko.
“Ada yang minta bantuan!”
“Ya…kita turun saja!”
“Iya, Air sudah surut! Ayo….turun!”
“Jangan! Nanti ada air lagi!”
“Tidak, sudah surut! Kita harus menolong mereka. Lihat mereka tersangkut di kursi!” teriak seorang pria berkumis tebal menunjuk ke arah bawah ruko, terlihat di bawah seorang pria bertelanjang dada terhimpit potongan kayu, tersangkut di pohon mangga tak jauh dari belakang ruko. Tangannya mengapai-gapai minta pertolongan.
“Tolong, dia suami saya!”
“Angkat tubuhnya! Hati-hati, mungkin kakinya patah!”
“Ya, satu, dua, tiga…!” beramai-ramai orang mengangkat tubuh lemah itu.
“Ahhh….itu….! Maya Lon! Maya Lon! Maya Lon!” teriak seorang ibu yang tak jauh dari kami berdiri. Wajahnya pias dan menarik cepat seorang bocah kecil yang terkulai lemas dalam gendongan seorang lelaki tua yang baru saja berjalan ke arah kami setelah ke luar dari ruko.
“Maya Lon! Maya Lon!” teriaknya lagi.
“Sabar, Kak, semua sudah kembali pada Robbnya. Jangan diratapi.” Nasehat seseorang.
“Maya Lon! Maya Lon!” ibu itu masih saja berteriak, menangis sambil berputar-putar mengendong anaknya yang sudah tak bernyawa.
Tiba-tiba aku tersentak!
“Mak! Mak! Pak Cek, dimana Mak?! Bang Ilham, Kak Intan…Pak Cek…kita cari mereka! Cepat!”
“Sabar ya, Mutia,”
“Pak Cek, mereka masih hidupkan? Ooh…Mutia takut, kalau….”
“Nanti kita cari. Serahkan pada Allah, Mutia,”
Seluruh sendiku ngilu. Pandanganku buram. Tubuhku limbung dan terjatuh.
“Maaak….”
* * *
Aku berdiri di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Semua benar-benar bagaikan ‘pasar’ mayat! Ketenangan selama ini, kesejukan selama ini, keindahan selama ini yang didapati bila orang memandang masjid terindah di Asia Tenggara ini lenyap seketika. Berganti dengan bau busuk yang kian menyengat! Campuran bau anyir darah, sampah atau jenazah yang mulai membusuk. Ratusan mayat terbujur kaku dan berderet di tengah-tengah masjid. Darah mengenang di lantainya yang dulu licin mengkilat. Masjid yang berukuran 56 x 34 meter, kini berganti menjadi lokasi ‘padang mayat’! Air kian surut, tapi sampah dari rumah yang telah rata menumpuk menghalangi perjalanan. Pasar Atjeh disebelahnya pun luluh lantak! Ah, kemana kaki ini akan melangkah mencari Mak? Bang Ilham dan Kak Intan? Rumahku telah rata, tak ada yang tersisa! Pakaian yang tersisa hanya yang melekat dibadan. Ah…Mak, Apakah masih bernafas? Atau masihkah bisa kudekap erat bila memang telah tak bernyawa? Mak, Bang Ilham, Kak Intan….ah, aku merasa sepi. Kulihat Pak Cek Amir di sampingku telah berurai air mata. Sama sepertiku yang terpisah dari keluarga. Lelaki itu cukup tegar. Padahal, ia pasti perih kehilangan sanak saudaranya.
“Ayo…Mutia, kita sholat dulu! Nanti kita cari lagi, ya!” ajaknya. Aku mengangguk dalam pasrah. Dibopongnya tubuh mungilku yang sudah tak mampu lagi berjalan.
“Mak, kemana akan kucari? Bang Ilham, Kak Intan? Masihkah selamat?”
* * *
Sepuluh tahun berlalu. Kini Aceh mulai bangkit, juga jiwaku. Walau belum sempurna dari duka yang menyapaku. Bersama Pak Cek Amir, kini aku bernaung.
“Mutia, cepat berangkat sekolah! Nanti telat!” teriak Pak Cek Amir. Aku bergegas, melangkah dengan senyum penuh harap.
Mengenang 10 tahun Gempa & Tsunami di Aceh
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI