Ba'da Maghrib, pintu rumah saya diketuk. Sepasang suami istri duduk di depan saya.
"Saya kecewa sekali, Bu," ujar si Bapak. Berkali-kali Ia mengusap wajahnya. Wali muridku ini sengaja datang untuk berdiskusi. Sebelumnya, sudah saya sampaikan ingin bertemu lewat buku penghubung. Beberapa hari sebelumnya, di kelas ada murid yang bercerita telah melihat adegan tak semestinya di warnet. Kala itu, aku menjadi wali kelas 3 di sebuah SD Swasta.Â
Aku segera melacak anak-anak yang diceritakan tersebut. Ternyata beberapa anak tidak pulang ke rumahnya masing-masing, melainkan mampir ke warnet milik orang tua salah satu siswa. Di sana, awalnya mereka membuka games online khusus anak-anak. Namun, saat mencari games yang mereka gemari terbukalah sebuah situs porno. Mendengar ini sebagai wali kelasnya, saya langsung mencoba berkoordinasi dengan pijak sekolah dan wali murid.
"Saya marahi anak saya, Bu. Tidak menyangka..." beberapa kali si Bapak menyesali diri. Anaknya sudah terpapar dengan adegan pronografi dari yang mereka tonton di warnet. Padahal Ia telah mencoba membentengi diri dengan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah berbasis agama.
"Saya akui, Bu guru, saya sibuk!" sambung si Bapak.
Kejadian itu sudah bertahun lalu, tapi saya masih tergiang melihat ekpresi wali murid tersebut. Jujur, saya pun saat ini merasa ketakutan yang sama. Takut anak saya terpapar dengan hal tak bagus dari perkembangan teknologi. Apalagi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berbasis kompuer dan gadget saat ini begitu luar biasa. Pengguna internet di Indonesia sampai tahun 2014 mencapai 82 juta orang (Keminfo.go.id).
Saya sendiri jujur sering sekali menggunakan gadget atau gawai. Dalam sehari entah beberapa kali saya mengecek email, group WhatsApp, telegram, Instagram, Twitter dan lainnya. Apalagi sebagai blogger dan buzzer saya harus sering memantau media sosial yang saya miliki. Hal ini membuat saya harus bijak memilih waktu untuk bercengrama dengan keluarga. Pernah si anak-anak protes, "Ummi kok main hp terus?" Deg! Saya sempat "tertampar" wah, jangan-jangan ada yang salah dari saya nih?
Alhamdulillah Nangkring Kompasiana mengundang Blogger di Lampung untuk hadir di acara Ngobrol Netizen. Temanya sangat pas dengan yang saya butuhkan, yakni Melalui Peran Media  Kita Bangun Keluarga Berketahanan di Hotel Horison, 13 Juli 2017
Belum lagi kalau ada tamu, anak muda sekarang jarang sekali mau beramah tamah dengan tamu. Tapi, malah asyik dengan gadget di dalam kamarnya. Saat lebaran, saya juga menemukan ini, keponakan lebih banyak di kamar bermain gadget dibanding menemui tamu. Sekarang emmang zamannya gadget, apa-apa ada group WhatsApp.
Mau menanyakan anaknya mau makan apa saja, hanya ketik di gadget. Tak ada lagi kontak fisik. Anak-anak jadi kering dengan ekspresi orang tua. Hal ini menyebabkan kita kurang peka dalam bahasa tubuh orang lain, hubungan orang tua dan anak menjadi hambar. Memang sih kebutuhan gagdet ini dapat mendekatkan yang jauh, tapi dapat juga menjadikann hubungan antar keluarga tidak lagi hangat. Bagai pisau bermata dua, kita harus bijak menggunakan medsos.
Ambar Rahayu mengingatkan untuk peserta yang hadir jangan menikah dini. Apalagi tingkat kematian ibu saat ini tinggi, sebaiknya pernikahan di usia 21 -35 tahun. Ambar juga mengingatkan jika dulu orang tua dan anak bisa ngobrol di meja maka, tapi sekarang saat berkumpul dengan keluarga, bukan menceritakan pengalaman sehari-hari, tapi malah asyik dengan gadget dan group WhatsApp.