Mohon tunggu...
Naqib Najah
Naqib Najah Mohon Tunggu... -

4 kursi dalam hidup saya: Tuhan, Pengetahuan, Mimpi dan Ibu.\r\n\r\n#asisten penulis, mantan head of non publishing affairs Leutika Publisher, mantan pimpinan redaksi Smile E-magz, mantan anggota komunitas KUTUB Yogyakarta, mantan tukang kirim artikel media, mantan penggoes ontel dari ISI ke nol kilometer malioboro.\r\n\r\ncek jurnal saya di http://paraqibma.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Siapa Itu Otto Rehhagel? Pencari Rumah Sejati, Jawabnya

20 Mei 2013   10:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:18 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merdunya kicau burung bukan karena kualitas suaranya. Melainkan bagaimana ia menemukan kenyamanan, aman, sehingga ia bisa mengeluarkan suara terbaiknya. Saya pernah menulis tentang cara rumah menerapi kita untuk semakin membumi. Tulisan tersebut saya posting beberapa minggu lalu. Lewat judul Menyentuh Bumi di Rumah Sendiri, saya diingatkan banyak hal gara-gara rumah. Termasuk adalah kepandaian dia mengingatkan siapa diri kita, ke mana kita harus melangkah, dan cara rumah memanusiakan penghuninya. Bagi Otto Rehhagel, Kaiserslautern memang bukan kota kelahirannya. Ia lahir di Essen. Namun Kaiserslautern, kota yang biasa juga disebut dengan K Town adalah pelabuhan yang nyaman. Kaiserslautern memberinya kenyamanan. Di kota dengan populasi 99.469 ini ia menemukan ‘rumah’, sebelum kemudian ia menjadi manusia sebenarnya. “Otto datanglah ke sini. Di sini kamu akan menjadi pelatih. Lebih dari itu, kamu akan menjadi manusia lagi,” demikian seru Juergen Friedrich. Sahabat yang sekaligus menjabat komisaris klub sepak bola setempat ini menelepon Rehhagel pasca episode jahatnya majikan kaya yang ditunjukkan manajemen Bayern Munchen. Raksasa Jerman telah memecat Rehhagel dari kursi kepelatihan. Lalu Friedrich datang meminta Rehhagel untuk melatih Kaiserlautern yang sedang pesakitan. Klub ini terkena degradasi ke divisi II Liga Jerman pada musim 1996/1997. Dengan segala kesederhanaannya, Kaiserslautern benar-benar sebuah rumah bagi Rehhagel. Di tengah segala pertanyaan, kenapa ia memilih melatih klub kurcaci yang sedang terdegradasi padahal sebelumnya ia meneken kontrak dengan klub raksasa, Rehhagel punya prinsip sendiri yang mampu menjawab semua pertanyaan itu. Di matanya, “Munchen terlalu banyak otoritas. 70.000 penonton di stadion mempunyai komando di sakunya. Satu-satunya yang tidak punya komando hanya wasit.” Sementara, “Saya suka tantangan. Kaiserslautern penuh dengan tantangan. Saya melihat Kaiserslautern mempunyai prospek.” Perjalanan Otto Rehhagel menjadi contoh satu dari sekian siklus hidup manusia, kita mengalir kepada ceruk pemberi kenyamanan dalam hidup ini, bukan ceruk kemegahan.

Mungkin karena traumanya menukangi klub raksasa bak juragan kaya yang semena-mena, Rehhaghel pun mengeluarkan statement setengah wasiat kepada para pemain untuk berkarir di dalam klub yang memberinya kenyamanan, bukan klub yang memberinya kemegahan. Dalam konteks kali ini, kenyamanan nomor satu baru kemudian kemegahan. Prestasi yang datang tanpa adanya kenyamanan, perlahan-lahan menjadi tumor ganas yang suatu saat menghancurkan karir pelakunya.

Kenyamanan mampu melahirkan komunikasi batin dalam diri seseorang. Komunikasi intim antara dirinya dengan hidupnya sendiri. Ruang-ruang tafakkur untuk melejitkan level hidup yang sedang kita alami, lahir setelah muncul rasa nyaman. Rehhagel hanya pencari kenyamanan, bukan pecundang yang sembunyi di balik zona aman (comfort zone). Sebab rasa nyaman menjadi pupuk awal suburnya prestasi yang kita bisa kita raih. “Baru jika ia merasa aman seperti dalam keluarga, ia akan menunjukkan prestasi luar biasa,” tegas Rehhagel, menceritakan perjalanan karir Miroslav Kadlec, salah satu pemainnya di Kaiserslautern yang menurutnya melejit pasca menemukan ‘rumah’ dalam hidupnya. Menemukan ‘rumah’ di setiap bumi baru yang kita pijaki adalah harga mati. Kalau tidak percaya, Diego Forlan bisa menjawabnya. Forlan salah satu pembeli kemegahan tanpa memikirkan kenyamanan. Ia pun terserang 'Tumor' yang lahir akibat kemegahan rasa nyaman. Perjalanan karir Forlan seperti alir sungai menuju lautan besar. Dari klub sederhana menuju klub besar. Mengawali karir senior pada tahun 1997 di Independiente, Forlan sempat mencicipi indahnya lautan luas ketika direkrut Manchester United. Namun rumah sejatinya bukan di daratan Negeri Ratu Eliebeth, melainkan Negeri Matador dengan Villareal dan Atletico Madrid yang memberinya kembang karir dalam jagat sepak bolanya. Kembang karir yang lantas kembali layu pasca kedatangannya di Inter Milan. Klub asal kota mode ini tidak memberinya sepetak lahan di mana ia bisa membangun ‘rumah’-nya sendiri. Perasaan tidak dimanusiakan pun muncul. “Pesan itu jelas. Saya sama sekali tidak diterima di sana,” aku pemain Uruguay yang mengharumkan nama negaranya walau sekadar menjadi negara terbaik keempat di ajang Piala Dunia 2010, mewakili catatan ‘tumor ganas’, dampak hilangnya ‘rumah’ dalam karir Forlan. *** Dalam hitungan 24 jam, aksi penjajahan tidak pernah berhenti. Perjuangan kita hanya berkutat bagaimana menjadi manusia merdeka; memerdekakan apa yang ada di kepala kita, memerdekakan perasaan yang ada di dalam hati kita, memerdekakan ucapan yang kita tahan cukup lama. Setiap hari, perjuangan kita hanya untuk itu. Ada penjajah kecil yang mengancam kita bahkan sejak pukul delapan pagi. Otto Rehhagel telah menemukan penjajah-penjajah kecil (namun mengelompok sehingga menjadi besar) dari ulah otoriter yang dilayangkan manajemen klub Bayern Munchen, juga para fans. Diego Forlan menemukan penjajah dalam bentuk perlakuan acuh Ivan Cordoba yang berdiri selaku manajer tim La Beneamata.Mungkin penjajah dalam hidup Anda dalam bentuk kutukan jam kantor yang menggerogoti jatah produktivitas Anda secara pribadi. Mungkin penjajah kecil dalam hidup Anda dalam bentuk sahabat yang tidak bisa melihat temannya melejit secara karir. Mungkin penjajah kecil Anda adalah keluarga Anda sendiri yang terus menghalangi Anda untuk bereksplorasi di bidang seni, dan penjajah-penjajah lainnya. Yang pasti Anda adalah Rehhagel dan Forlan-forlan berikutnya. Ada lingkungan persahabatan, ada juga lingkungan kerja, ada lagi lingkungan kampus yang menyita waktu-waktu kita setiap hari. Jika ditanya, di antara lingkungan tersebut, mana yang lebih memunculkan banyaknya penjajahan, beranikah kita menjauhinya? Tidakkah prestasi yang dibeli tanpa kenyamanan tidak bedanya Tumor ganas dengan bahaya laten yang justru menggerogoti hidup kita sendiri? Di antara dua orang yang pernah terjajah tersebut (Otto Rehhagel dan Diego Forlan) kisah move onRehhagel patut kita jejaki. Ia pencari ‘rumah’ yang akhirnya sukses menemukan tempat idamannya. Pencari ‘rumah’ yang akhirnya menjadi manusia seutuhnya. Dari ‘rumah’ ini, ia menjadi burung yang mampu mengeluarkan kicau terbaiknya. Selamat mencari ‘rumah’…. Yogyakarta, 20 Mei 2013 Wartawan senior Kompas, Sindhunata menulis tentang Otto Rehhagel dengan sudut pandang yang berbeda. Sindhunata mengkaitkan Rehhagel dengan “Sense of Crisis” pada salah satu artikel dalam buku Air Mata Bola. Twitter: @naqib_najah Tulisan dan jurnal lain bisa dilihat di http://paraqibma.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun