Mohon tunggu...
Naqib Najah
Naqib Najah Mohon Tunggu... -

4 kursi dalam hidup saya: Tuhan, Pengetahuan, Mimpi dan Ibu.\r\n\r\n#asisten penulis, mantan head of non publishing affairs Leutika Publisher, mantan pimpinan redaksi Smile E-magz, mantan anggota komunitas KUTUB Yogyakarta, mantan tukang kirim artikel media, mantan penggoes ontel dari ISI ke nol kilometer malioboro.\r\n\r\ncek jurnal saya di http://paraqibma.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mereka yang Berkeringat di Kehidupan Kedua

12 April 2013   14:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:19 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika Anda menonton film Touchback yang rilis 13 April 2012 lalu, Anda akan menikmati kehidupan kedua yang dimiliki Scott Murphy. Ia hidup sebagai super star, atlet football yang meraih kejayaannya di usia 20 tahun. Episode ini boleh kita tandai dengan kehidupan pertamanya. Namun cedera kaki yang ia terima dalam sebuah pertandingan, membuat kehidupannya berbanding terbalik. Inilah kehidupan kedua. Kakinya yang cacat, membuatnya menjalani rumah tangga dengan bertani, dua anaknya hidup tanpa sentuhan kasih sayang yang utuh, begitu pun, kadar rasa cintanya kepada isterinya sedikit terenggut sebab kesibukannya memikirkan hutang bank, dan hasil panennya. Kehidupan kedua bagi Scott Murphy adalah kerja keras. Banting tulang untuk mengembalikan kebahagiaan sebagaimana sebelumnya, selagi masih ada kesempatan, selagi masih ada kemampuan. *** Semoga sore itu adalah sore yang berkah. Saya duduk di sampingnya bukan di atas kursi yang nyaman. Melainkan bangku kecil dengan atap terpal yang untungnya, sore itu tidak diguyur hujan. Kami duduk di angkringan sederhana. Saya mengambil sate kerang, dua tahu susur dan segelas teh hangat tanpa gula. Sementara beliau, berdasarkan seleranya, meminta mendoan namun dengan catatan, yang masih hangat dan baru saja diangkat dari penggorengan. Es teh ia pesan sebagai pelancar aktivitas ngemilnya. Di usianya yang ke-58, ia melempar cerita perihal aktivitas yang ia geluti akhir-akhir ini. Ia bercerita tentang Pelatihan Tindakan Kelas (PTK) yang sedang gencar-gencarnya beliau galakkan. Berbekal background-nya sebagai mantan wartawan Kedaulatan Rakyat, beliau memberanikan diri sebagai trainer di bidang tersebut, sekaligus memberikan latihan menulis bagi guru-guru yang ingin meningkatkan karir. Tegasnya, “Saya lagi senang-senangnya berjuang di bidang ini, Dek!” Sapaaan dek memang kaprah beiau lempar untuk lawan bicaranya. Pikir saya, tidak akan ada yang istimewa dengan topik seperti ini. Cerita perihal pelatihan akan bermula dari aktivitas menyebar undangan, meyakinkan peserta atas materi yang dibuat, dan berakhir dengan pertemuan: sesi latihannya. Namun senior satu ini mampu memberi bumbu yang istimewa di tengah ceritanya. Saya yang semula berniat mendengarkannya biasa-biasa saja, akhirnya menjadi simpati luar biasa. Ia menjumlahkan angka 58 dengan 400 lembaran dibagi 230 sekolahan dibagi lagi 5 hari kerja. Angka-angka yang bagi saya, menandai semangatnya di kehidupan kedua. Angka 58 adalah usianya. Dua tahun lagi, ia sudah sepantasnya menjadi pria dewasa yang lepas dari segala bentuk pekerjaan dan kaitannya dengan mata pencaharian: pensiun. Namun ia bukan pegawai negeri. Ia hanya lelaki yang menyukai jurnalistik. Oleh karenanya, segala pekerjaannya pun berputar perihal ketik-mengetik, mencari berita (menjadi wartawan Kedaulatan Rakyat), membuat majalah (sempat mendirikan majalah), dan segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan menulis (pelatihan). Maka tidak ada jaminan pensiun di hari tua untuknya. Dari angka 58 itu, kemudian naik ke angka 400. Angka ini tidak lain adalah jumlah lembaran undangan pelatihan PTK yang ada di tangannya. Jumlah undang yang sangat sedikit jika melihat pangsa pasar PTK yang sedemikian luas. Namun berbuat sedikit dan tahu kondisi lapangan kadang lebih menarik ketimbang niat berbuat banyak tapi buta akan apa yang terjadi di lapangan. Dengan 400 lembar undangan yang ada di tangan, ia akan pergi menjelajah sekolah-sekolah yang ada di Gunung Kidul. Seperti menyirami tanaman di pagi hari, Pelatihan PTK membuatnya menaruh harapan yang cukup besar: ia ingin menjadi mangga yang rindang dan meneduhkan orang-orang yang ada di sekitarnya walau pun sudah tidak bisa berbuah. “Tujuan saya, Dek, bukan membuat pelatihan PTK di kota. Kalau di Jogja ini, sudah banyak orang pintar. Mereka ikut pelatihan cuma sekadar cari sertivikasinya,” terangnya. Sanggah saya, “Bukannya yang di desa pun ikut pelatihan juga ingin cari sertivikasi, Pak?” Namun ia bisa menjelaskan lebih detail lagi. “Memang benar begitu, namun impact-nya tetap beda. Menabur pengetahuan di orang-orang desa, jauh lebih bermnfaat daripada menabur pengetahuan kepada orang-orang kota,” lanjutnya. Saya jadi ingat kalimatnya beberapa bulan silam, bagaimana ia yang sudah ada di usia senja, dengan pengetahuan perihal pendidikan yang menumpuk di kepalanya, terpanggil untuk membuat satu hal yang bermanfaat bagi khalayak banyak sebelum ia meninggal. “Saya, Dek, di usia segini, belum meninggalkan apa-apa. Harta juga tidak, buku juga cuma seberapa, murid juga tidak punya. Terus apa amalan sebagai penenang hari akhirku besok?” Atas dasar itu semua ia merelakan bercapek-capek menjelajah 230 sekolahan di Gunung Kidul, dengan motor butut, Smash keluaran tahun 2003. Targetnya, 230 sekolahan tersebut tuntas dalam lima hari. Maka untuk menyelesaikannya, ia harus menuntaskan 45 sekolahan setiap hari. Ekspedisi 5 hari 230 sekolah itu akhirnya tuntas juga. Setelah menyeruput es tehnya, dengan bibir yang masih belepotan minyak pasca menikmati tahu, ia memperlihatkan kedua lengannya yang bentol-bentol. Karena iritasi matahari, Dek, akunya. Maklum, ia berangkat pagi-pagi. Pada pukul delapan hingga 11 siang, ia memberanikan diri dengan kepala sekolah yang ia temuinya. “Sebab wajah saya belum kusam, Dek. Tapi kalau sudah di atas pukul satu siang, saya ngakunya sebagai kurir pengantar undangan. Ya, masak pembicara pelatihan wajahnya kusam,” lanjutnya. *** Theodore Roosevelt pernah bilang, “Far and away the best prize that life has to offer is the chance to work hard at work worth doing.” Kesempatan untuk bekerja keras adalah sebaik-baiknya pemberian dalam hidup. Orang-orang yang ada di kehidupan kedua sangat tahu arti kesempatan. Scott Murphy yang pernah mengalami masa keayaan, tidak akan menyianyiakan waktunya kecuali untuk bekerja keras. Harapnya, kebahagiaan itu kembali seperti semula. Kehidupan kedua bagi eks wartawan Kedaulatan Rakyat ini adalah membuat hidup semanfaat mungkin di hari senjanya. Ia rela berkeringat sejauh itu, menempuh 45 sekolah setiap hari, door to door menawarkan materi pelatihan PTK-nya. Jika Scott dan senior saya ini sudah menemukan kehidupannya, apa Anda juga dalam taraf yang sama? Namun sebenarnya kita tidak perlu menghitung di kehidupan ke berapa kita saat ini. Seperti yang Sammy Hagar katakan, “Every year on your birthday, you get a chance to start new.” Yogyakarta, 12 April 2013 Twitter: @naqib_najah Artikel dan jurnal saya bisa dicek di paraqibma.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun