Mohon tunggu...
Naqib Najah
Naqib Najah Mohon Tunggu... -

4 kursi dalam hidup saya: Tuhan, Pengetahuan, Mimpi dan Ibu.\r\n\r\n#asisten penulis, mantan head of non publishing affairs Leutika Publisher, mantan pimpinan redaksi Smile E-magz, mantan anggota komunitas KUTUB Yogyakarta, mantan tukang kirim artikel media, mantan penggoes ontel dari ISI ke nol kilometer malioboro.\r\n\r\ncek jurnal saya di http://paraqibma.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gaston Bachelard dan Tri Fungsi Rumah

19 April 2013   08:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:58 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

If I were asked to name the chief benefit of the house, I should say: the house shelters day-dreaming, the house protects the dreamer, the house allows one to dream in peace. Manis sekali Gaston Bachelard dalam menggambarkan makna rumah bagi hidupnya. Ia yang lahir di Bar-sur-Aube dan meninggal di Paris, 16 Oktober 1962, mengambil tri fungsi dari sebuah rumah. Rumah sebagai penampung segala lamunan. Rumah sebagai pelindung atas segala mimpi yang ia tanam. Rumah yang sekaligus pemberi ketenangan, rasa damai di tengah badai hidup yang sulit terbaca. Pada ruangan 4 x 4 meter, saya menemani teman saya ngobrol perihal rumah. Topik rumah ia lempar seiring keinginan kekasihnya untuk kembali ke kampung halaman, “Ia ingin tinggal di rumah, di Bukittinggi. Di rumahnya nanti, ia ingin menghabiskan hidupnya dengan mengurus ayah dan ibunya. Kebetulan, kesehatan mereka kurang membaik,” jelas sahabat saya. Sahabat saya bercerita tentang kegusaran hatinya lantaran niat pulang kampung kekasih pujaannya—Ia sudah tidak menghendaki tinggal di Jogja, Bukittinggi menjadi pelabuhan masa depannya. Saya tidak memberi nasihat apa-apa. Sulit berbagi solusi di tengah kompleksitas problem yang sahabat saya ceritakan. Namun diam-diam, saya mengulum, “Dengan tinggal di rumah, seseorang mampu membumi. Sementara kita yang di perantauan, terlalu jauh melangit.” Barangkali kekasihnya itu ingin membumi, pasca melangit 4 tahun lebih sepanjang perantauannya di Jogja. Saya sering menyentuh realita kemudian berpikir tentang hidup yang sebenarnya justru sewaktu saya sedang ada di rumah. Ketika saya pulang kampung, di saat kali pertama mengetuk pintu, maka di saat itu juga, rumah memberi saya visualisasi hidup yang cukup banyak. Tentang perekonomian, tentang keringat yang harus diperas tanpa kenal waktu, tentang kerasnya hidup yang kadang tanpa sempat memberi ampun, tentang menjadi sederhana namun benar-benar hal yang nyata. Rumah adalah tempat di mana kaki-kaki bisa meninggalkannya, namun tidak dengan hati kita, tulisOliver Wendell Holmes. Kaki yang melangkah di Jogja, namun hati saya masih tinggal di rumah. Di setiap langkah pertama memasuki ruang depan, sambil mencium debu meja yang jarang dibersihkan—rumah saya hanya ditempati adik ketiga, saya menyebutnya pelari ketiga, saya pernah juga pernah menuliskan kisah hidupnya di judul Pelari Ketiga: Adik yang Basah Keringat. Ia bekerja dari pukul 6 pagi hingga siang menjaga toko warisan keluarga di pasar tradisional. Ia membersihkan rumah jika tidak capek saja—saya menciuimi cerita-cerita dari ibu saya. Ah, ibu saya tidak pernah bercerita. Namun ia dengan segala semangatnya untuk sembuh dari penyakit yang menderanya, adalah cerita sendiri bagi saya. Cerita membumi, bukan melangit. Kisaran pukul 4 sore dan 5 pagi, adalah dua moment yang paling saya suka ketika tinggal di rumah. Pukul empat sore, Ibu saya biasanya menyempatkan membaca Alquran. Kakinya yang tidak bisa bergerak, tangan kirinya yang lumpuh, membuat saya semakin tenggelam ketika melihatnya membopong Alquran dengan sekeras usaha. Ia akan duduk di ruang tengah, di atas kasur yang selalu lekat dengan aroma keringatnya, lalu alunan Alquran terdengar. Fasih! Ibu saya cukup fasih membacanya. Di saat itu juga, rumah dengan lakon Ibu Pembaca Quran, memberi saya arti kedamaian seorang hamba saat mampu beribadah di tengah keterbatasannya. Sebenarnya, niat ibu saya di setiap sore adalah datang ke musala, mengikuti pengajian ibu-ibu, bercengkerama dengan perempuan-peremuan seusianya. Sempat ia memaksakan diri berangkat tertatih-tatih (dengan Bapak yang memegangi pundaknya), namun seiring waktu, stroke, kadar gula, dan asam urat benar-benar menghukumnya untuk tinggal di rumah saja. Sore hari, pasca ia membaca Alquran, saya lanjut memutarkan televisi. Saya duduk di sampingnya, bersandar di bahunya yang makin hari makin tidak empuk. Ah, tidak masalah. Toh, yang saya cari adalah aroma keringatnya. Sebab saya selalu suka aroma keringat ibu. Aroma keringat bercampur racikan dedaunan yang ditumbuk lalu dioleskan di atas tubuhnya. Sore hari di rumah, ajaran hidup datang seiring bunyi burung-burung Kroak (saya tidak tahu nama sebenarnya. Namun sebelum Maghrib tiba, di belakang rumah selalu ramai dengan suara burung. Manuk Kroak, demikian orang sekitar menyebut). Pada pukul 5 pagi, rumah berganti episode. Rumah pagi hari, dengan bunyi tongkat ibu menuju kamar mandi, memberi saya ketukan hidup. Ketukan-ketukan yang berarti kesadaran akan kenyataan. Bangun, hidup tidak sekadar mimpi. Saya pun bangun, cuci muka, salat Shubuh, menyapu lantai, membuang sampah dapur, lalu menemaninya terapi jalan pagi hari. Inilah realita… saya melihatnya tidak mempunyai perkembangan perihal kesehatan, padahal dalam kondisi bermimpi, saya selalu bertemu dengannya dalam keadaan yang cukup riang: memasakkan saya menu kesukaan, membeli jajanan pasar pasca kesibukannya di toko warisan keluarga, dan tentunya, berangkat mengaji di musala tanpa perlu tertatih-tatih. Saya masih suka membaca ‘novel’, tentang rumah saya sendiri. Novel yang barangkali, lebih banyak menyajikan bab-bab pahit ketimbang manisnya. Novel yang membuat saya dan adik saya bercengkerama dengan Ibu hanya dalam hitungan 15 tahun. Novel yang bagi Mbak saya, haram sekali untuk dibaca ulang: pada bulan Februari 2012, telepon datang darinya. Ia memarahi saya karena menulis cerita perihal ibu dan masa-masa pahit keluarga saya. Namun bagi saya, novel memang demikian. Kita harus mencintainya secara utuh, bab pahit, dan juga manisnya. Seperti hidup! Ketika sahabat karib saya sedang suntuk-suntuknya: kuliah tidak juga menemukan happy ending-nya, ingin memulai bisnis namun belum ada modal usaha, sementara omelan kedua orang tua terus menghujami seiring datangnya telepon dari keluarganya, maka saya memintanya untuk pulang sejenak. Barangkali ia di Jogja terlalu hidup melangit dan butuh kembali menyentuh bumi. Dan rumahlah tempatnya. Kenyataannya, sekembalinya dari kampung halaman, ia mampu menemukan fokus hidup. Rumah dengan segala kesederhanaannya mampu mengembalikannya pada kehidupan-kehidupan membumi. Karena rumah dengan segala episode yang ada di keluarga saya, nasihat Mbak saya tidak pernah berubah. Di setiap kesempatan telepon, yang keluar dari mulutnya adalah ajaran untuk mengenali diri sendiri, “Kamu bukan siapa-siapa, Dek. Bukan anak siapa-siapa. Jika orang jatuh dan masih ada keluarga yang datang menyambut, maka tidak denganmu.” Ia mengajak saya membumi, untuk tahu siapa diri sendiri, apa yang harus diraih, berkat sebuah rumah. Lalu ketika saya harus meninggalkan rumah, menaiki bus menuju Yogyakarta, saya hanya bisa mengingat pesan Tad Williams,Jangan membuat rumah bergantung pada tempat.Buatlah rumahAnda di kepala Anda sendiri. Anda akan menemukan apa yang Anda butuhkan- kenangan, teman yang bisa Anda percaya, cinta dari sebuah pelajaran, dan hal-hal lain seperti itu. Bila sudah demikian, kita akan menikmati sebuah perjalanan. Yogyakarta, 18 April 2013 Pukul 01:41 WIB, pasca bangun dan mencium aroma ibu. Saya mencarinya, ingin saya katakan, “Anakmu telah berbuat besar hari ini. Itu didikanmu!!!” Keringat ibu... merindu sekali. Twitter: @naqib_najah Artikel dan jurnal lain bisa dikunjungi di paraqibma.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun