Ada masa ketika mulut tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ruang untuk bicara tertutup rapat, kesalahpahaman menyelimuti setiap sudut. Rasanya hidup, namun seperti mati, tertekan oleh kewarasan yang harus terus dipertahankan. Setiap menit berlalu dengan peran yang terus berganti, seolah tak ada ujungnya. Menyakiti tak pernah benar-benar berhenti, meski berpura-pura pulih, kenyataannya diri ini telah mati secara perlahan.
Hidup kadang terasa seperti lelucon tragis, plot twist yang tak terduga dalam perjalanan kewarasan. Ketika mulut berubah menjadi pisau tajam, siap merobek jiwa yang sudah teramat lelah. Pada titik itu, hati tak lagi mampu merespon. Ucapan yang terlontar tanpa kesadaran menjadi senjata yang berhasil membunuh batin, perlahan tapi pasti. Luka itu tak kasat mata, namun terasa begitu nyata, mengoyak kedalaman jiwa.
Amsal 18:21 (TB):
"Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya."
Doa, dalam keheningannya, hadir sebagai pelipur jiwa yang tergores. Ia menjadi ruang aman saat tak ada tempat lain untuk bersembunyi. Doa bukan sekadar kata-kata, tapi tempat di mana hati yang hancur bisa merangkai harapan baru. Ketika semua orang tak lagi mengerti, doa tetap setia menjadi pelipur lara, mendengarkan tanpa menghakimi, menyembuhkan tanpa syarat.
Mazmur 34:18 (TB):
"TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H