Mohon tunggu...
Naomi Widhia
Naomi Widhia Mohon Tunggu... -

Ilmu Komunikasi '14 - Universitas Kristen Satya Wacana

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Budaya Foto Sebelum Makan

14 September 2016   23:54 Diperbarui: 15 September 2016   00:04 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.inspirasibisnis.info

Kalian pernah nggak sih memfoto makanan sebelum kalian makan? Apa kalian menyadari hal itu saat ke resto/cafe? Saat kita pergi kesana pasti kita menemui orang yang memfoto makanannya setelah disajikan.

Tau nggak kalo kegiatan yang kalian lakukan sudah menjadi sebuah budaya atau tren sekarang ini? Kenapa bisa disebut budaya? Karena budaya ada, dilakukan secara terus menerus, dan dilakukan oleh banyak orang.

Tren atau budaya tersebut disebut budaya foto sebelum makan. Apa itu budaya foto sebeulum makan? Budaya foto sebelum makan ialah memfoto makanan yang akan kita makan atau sudah disajikan dan meng-uploadnya atau menggunggahnya ke media sosial.

Tren ini berawal dari adanya blog-blog yang berisi rekomendasi tempat makan yang tujuannya untuk berbagi informasi harga, menu makanan yang disediakan resto/cafe, penilaian makanan dari pemilik blog dan foto makanannya. Lalu muncul berbagai macam media sosial dan media sosial ini digunakan mereka (pemilik blog) untuk meng-upload foto makanan (lebih tepatnya beralih ke media sosial yang dianggap lebih efisien).

Tapi banyak orang atau netizen beranggapan kalau budaya foto sebelum makan cuma untuk ajang pamer. Mereka (pelaku budaya foto makanan) memfoto makanan dan meng-uploadnya ke media sosial. Mereka datang ke resto/cafe yang mewah yang menyajikan makanan mahal, dan banyak orang menilai hal itu hanya demi eksistensi mereka dengan cara meng-upload makanan yang mereka tersebut. Dan mereka berharap bisa menjadi eksis di media sosial dan teman-teman mereka (baik di media sosial atau nyata).

Banyak orang atau netizen yang juga menganggap, mereka membuang waktu. Yang seharusnya mereka berdoa sebelum makan malah jadi lupa berdoa, yang seharusnya fokus untuk memakan makanannya, mereka malah membiarkan makanannya dingin dan lebih fokus memfoto bukan makan, demi hasil foto makanan yang bagus dan di upload di media sosial. Mereka jadi sibuk motret, ngedit dan upload hasil fotonya.

Di lain sisi, ada juga orang atau netizen terutama mereka yang suka kuliner, memanfaatkan budaya ini. Mereka bisa mencari referensi makanan lewat blog atau media sosial. Kenapa begitu? Karena di blog atau media sosial tersebut selain menyajikan foto, juga memberikan alamat resto/cafe, menu makanan yang disediakan, harga makanan dan fasilitas yang disediakan.

Budaya ini juga bisa menjadi visualiasi/gambaran apresiasi dari (sebut saja) “food blogger” untuk resto/cafe. Kenapa bisa apresiasi? Karena makanan yang disajikan memiliki rasa yang enak dan disajikan dengan bagus dan menarik, dan juga mereka memberikan penilaian untuk rasa makanannya (biasanya diberi penilaian dari 1-10).

Tanpa kita sadari, budaya ini juga bisa kita sebut proses komunikasi. Karena pelaku (food blogger) meng-komunikasikan tentang resto/cafe dengan “foto” dan mereka juga menggunakan “media” yaitu media sosial. Budaya foto makanan punya sisi positif dan sisi negatif. Selama (food blogger) masih wajar dan tidak menjelek-jelekkan sebuah resto/cafe. Kalau resto/cafe tersebut makanannya tidak enak atau pelayanannya tidak bagus, lebih baik tidak di upload atau dipublikasikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun