Pendidikan itu membebaskan: Reflection
Paulo Freire (Politik Pendidikan;1999):“panggilan sejati manusia (Man’s ontological Vocation) itu adalah menjadi pelaku, bukan penderita yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, maka panggilan manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas”.
Tanggal 2 Mei bangsa Indonesia mengenalnya dengan hari pendidikan Nasional. Apakah tujuannya hanya untuk mengenang tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara? Saya pikir tidak, ada yang lebih dari itu, bagaimana bangsa ini selalu diingatkan tentang realiatas dunia pendidikan dari masa ke masa.
Saya ingin mengingatkan bahwa bangsa ini mempunyai suatu tujuan yang mulia tentang rakyatnya, bagaimana pendiri bangsa ini merumuskannya dalam pembukaan UUD 1945 sebagai suatu tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak hanya itu bangsa ini mengaturnya dalam UU sistem pendidikan nasional, UU no 20 tahun 2003 tersurat dengan jelas bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Berdasarkan pada UU yang telah di buat dan langsung melihat pada kenyataan dilapangan, maka saya akan berkata bahwa saya kecewa dengan bangsa ini dalam hal pendidikan. Kewajiban pemerintah dalam hal menyelenggarkan pendidikan dasar pun saat ini masih sangat jauh dari harapan.
Saya pernah beberapa kali melakukan penelitian lapangan ke daerah, keluar dari Jakarta, yang ada adalah keperihatinan saya terhadap sarana pendidikan yang ada di daerah, saya pernah berada di pinggiran laut di Sidorajo, sebuah daerah pertambakan, sarana sekolah hanya ada gedungSD yang terbuat dari kayu, sarana sekolah lanjutannya harus kekota dan itu membutuhkan waktu yang lama itupun dengan ojek dan masih banyak anak yang berusaha untuk sekolah dengan menumpang mobil truk pasir. Memperihatinkan. Kondisi di pingiran Sidoarjo ini tidak jauh berbeda ketika saya berada di kepulauan Riau, Pulau Tebing Tinggi, dan Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Hal yang disebutkan di atas merupakan sesuatu yang dapat saya lihat, bicara pendidikan dari sisi sarana. Bagaianmana jika kita melihat pendidikan Indonesia dari sisi kualitas pendidikannya?
Mengungkapkan mengenai apa yang ditelah dihasilkan secara kualitas, maka saya akan berkata kualitas pendidikan nasionalkitaadalahkualitas pendidikan Indonesia hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada saat ini menurut pendapat saya hanya membuat anak didik itu pintar akan tetapi tidak cerdas. Seperti yang diungkapkan oleh DR.Arief Rahman, Pakar pendidikan, bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia dinilai “malas” untuk mengukur hal-hal yang lebih bersifat holistik. Selama ini penilaian terhadap anak didik hanya berdasarkan kecerdasan intelektual (kepintaran), bukan pada aspek-aspek lain seperti Spiritual, Emosional, Sosial maupun Jasmani.
Pembunuhan kreatifitas dan berkarya dalam pola yang terjadi di sistem pendidikan Indonesia lebih disebabkan karena adanya paradigma dalam pemerintah yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang saat ini sedang gencar-gencarnya di Indonesia. Indikator kepintaran yang dipakai menurut pendapat saya merupakan bentuk eksploitasi pemikirin dari anak didik, sehingga yang terjadi adalah penjejalan ilmu sebagai suatu barang jadi. Sistem pendidikan ini dalam pandangan Paulo Freire disebut dengan “sekolah model bank”. Sekolah model bank’ adalah istilah Freire untuk sekolah-sekolah formal pada umumnya yang seolah menabung dan menjejali ilmu pengetahuan sebagai barang jadi bagi para murid. Dalam sekolah model bank ini murid hanya penerima pasif dari ilmu yang sudah jadi, baku, dan tidak menyentuh kehidupan nyata sehari-hari mereka.
Jika pendidikan dibiarkan hanya mengunakan indikator kepintaran, seperti Ujian-ujian yang dilaksanakan, mengukur seorang mahasiswa dari Indek Prestasi (IP), maka itu menurut saya merupakan bentuk eksploitasi, bentuk pendidikan yang menindas bukan pendidikan yang membebaskan. Saya tidak keberatan IP menjadi ukuran, akan tetapi bukan hanya IP, harus diukur secara holistik semuanya, seperti apa yang diungkapkan DR. Arif Rahman.
Pendidikan janganlah dibiarkan menjadi suatu yang komersil, kalau seperti ini maka pendidikan hanyalah bagi mereka yang mempunyai ekonomi yang kuat, sedangkan bagi mereka yang miskin pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Saya sangat merasakan bahwa pendidikan di indonesia itu sulit di jangkau oleh masyarakat miskin, dan pendidikan semakin meminggirkan kaum kelas bawah. Sebaiknya kita harus mulai bertanya kepada penguasa negeri ini, sudahkan mereka mereka membaca dan memahami serta mengimplementasikan apa yang telah diamanatkan oleh founding father dalam UUD 1945 tentang tujuan negara ini...?
Paulo Freire menawarkan suatu alternatif mengenai pendidikan yang membebaskan bukan suatu pendidikan yang menindas. Solusi yangditawarakanPaulo Freire, terlebih untuk mengatasi problema penindasan adalah model pendidikan yang membebaskanyang disebutnya sebagai konsientisasi (kesadaran). Konsientisasi mengacu pada proses dimana manusia, bukan sebagai resipen tetapi sebagai subyek yang mengetahui, menyadari secara mendalam kenyataan sosio-kultural yang membentuk kehidupan mereka dan kemampuan untuk merubah kenyatan itu sendiri.
Pola pemikiran Paulo Freire ini tentang kesadaran ini tidak terlepas dari pengaruh teologi pembebasan di Amerika Latin. Bagaimana para rohaniawan itu meninggalkan kemapanan gedung paroki untuk tinggal dikampung kumuhguna menghayati kemiskinan dan seraya mengajak masyarakt untuk belajar memperjuangkan haknya, yang pada akhirnya menjadi suatu pemikiran dan gerakan tersendiri yang di kenal dengan Teologi Pembebasan.
Paulo Freire tidak hanya berpikir tentang alternatif pendidikan yang membebaskan tapi juga turun langsung ke masyarakat menghabiskan waktunya beberapa tahun di Guenia-Bissau, Afrika Barat,untuk bersama-sama belajar bersama masyarakat dan mencari sistem pendidikan yang sesuai bagi kondisi khas masyarakat tersebut. Saya berpendapat bahwa kita dapat belajar dari apa yang dipikirkan serta yang dilakukan oleh Paulo Freire, kalau memang kita (kaum intelektual dan kelas menengah) merasaterpanggil untuk melakukan pembebasan, maka aksinya tidaklah dilakukan di atas menara gading yang steril.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H