Lintasan Sejarah Pemindahan Ibukota Negara: Dalam Wacana 5 Presiden
Diskursus tentang pemindahan ibukota ini bukanlah hal yang baru namun sudah sejak era presiden Soekarno rencana pemindahan ibukota ini didengungkan wacananya. Perspektif Yahya (2018) bahwa pemindahan ibukota sejak kemerdekaan Republik Indonesia 1945 belum pernah ada wacana membangun kota sebagai ibukota negara atau ibukota nasional.Â
Pandangan Yahya (2018) mengidentifikasi bahwa kota-kota besar yang saat ini menjadi ibu kota negara (Jakarta) dan ibu kota provinsi semuanya atau sebagian besarnya merupakan peninggalan kolonialisme Belanda, berbeda dengan zaman kejayaan kerajaan di nusantara dahulu, sebelum mengalami penjajahan hampir semua mempunyai dan membangun ibu kota (kota raja).Â
Sebagai contoh Majapahit memiliki peninggalan situs Trowulan yang dianggap sebagai pusat pemerintahannya; Mataram dengan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahannya. Perpindahan pusat pemerintahan sering terjadi di zaman kerajaan dikarenakan suatu kerajaan tertimpa bencana, maka pusat kerajaan harus dipindahkan karena di anggap telah terkena kutukan dewa (Yahya, 2018).
Dalam lintasan sejarah Indonesia pernah beberapa kali memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 194-1949, dimana situasi agresi militer Belanda yang menyebabkan ibukota harus segara diselamatkan, dan ketika aman ibukota dipindahkan kembali ke Jakarta. Pada masa kemerdekaan Bukittinggi sempat juga menajdi ibukota saat Presiden Sukarno membentuk pemerintahan darurat sebelum ditangkap oleh Belanda antara tahun Desember 1948-Juni 1949.Â
Bireun, Aceh, juga pernah menajdi Ibukota negara walaupaun hanya sekitar lima hari, dan setalahnya kembali ke Jakarta menanti kemerdekaan melalui proklamai kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Hutasoit, 2018). Â Merujuk pada dasar pertimbangan keselamatan dan keamanan serta juga adanya kesempatan kota-kota lain menjadi ibukota Presiden Sukarno mewacanakan pemindahakan ibukota tahun 1950-an ke kota Samarinda dan Palangkarya di Pulau Kalimantan.Â
Secara simbolik pada tahun 1957 Presiden Sukarano melakukan pelatakan batu pertama dan tugu peringatan di Kota Palangkaraya, wacana simbolik ini tidak benar-benar memindahkan ibukota secara fisik, namun memberikan wacana pengurangan beban ibukota di Jakarta. Adanya perubahan kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto membuat pemindahan ibukota terhenti, namun sebagai wacana hal terebut terus ada bahkan pada masa Presiden Soeharto di era orde baru.
Wacana pemindahan ibukota di masa Orde baru tetap dilanjutkan, masa pemerintahan Presiden Soeharto wacana ini berkembang dengan pemindahan ibukota ke daerah Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Wacana pemindahan ibukota ke kota Jonggol ini ingin meniru apa yang dilakukan malaysia memindahkan ibukota ke Putrajaya yang masih berdekatan dengan Kuala Lumpur, sehingga memisahkan antara pusat bisnis dengan pusat administrasi pemerintahan.Â
Pemerintah Soeharta mengeluarkan keppres no 1 tahun 1997 tentang koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Sejak dikeluakan Keppres tersebut dinamika terus terjadi diwilayah Jonggol, pembelian lahan oleh para pengembang kawasan kerapkali dilakukan untuk dapat meraih domino efek pembangunan ibukota, seperti yang dilakukan pengembang ciputra dikawasan Jonggol. Â Namun Wacana pemindahan ibukota di Jonggol ini terhenti dan menghilang sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto.
Wacana pemindahan ibukota kembali muncul pada masa pemerintahan BJ Habibie dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Era pemerintahan BJ Habibie nama kota Sidrap, Sulawesi Selatan diwacana sebagai ibukota hal ini dikarenakan pertimbangan geografis kota Sidrap dianggap berada di titik sentral wilayah kesatuan Republik Indonesia.Â
Masa pemerintah Susilo Bambang yudhoyono isu atau wacana tentang pemindahan ibukota ini tidak hilang dan muncul kepermukaan dan menjadi wacana publik. Kota yang menjadi wacana untuk diusulkan oleh pemerintahan Yudhoyono adalah kabupaten Banyumas, Purwokerto Jawa Tengah. Kedua wacana pemindahan ibukota di era BJ Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono hanya menjadi lintasan wacana dan langsung tiarap tidak terdengar lagi.
Dari semua wacana terkait dengan pemindahan ibukota serta penetapan pemindahan Ibukota memiliki benang merah yang sama yakni kota Jakarta sudah tidak mampu lagi mendukung beban sosial dan juga lingkungan yang dihadapi Jakarta. Â Permasalahan segregasi sosoal di masyarakat sudah terbentuk dengan munculnya kemiskinan kota sebagain bagian dari urbanisasi yang tak terkendali dan juga permasalahan lingkungan polusi kemacetan dan banjir.
Mengapa Pindah dari Jakarta ?
Dalam catatan sejarah kota Jakarta, dapat dikatakan bahwa sejarah Jakarta adalah sejarah tentang banjir. Tercatat Pada tahun 1872 meluapnya sungai Ciliwung mengakibatkan jebolnya pintu air sehingga merendam kawasan Batavia. Peristiwa yang sama terjadi pula di tahun 1932 sebagai dampak dari hujan lebat menyebabkan hampir seluruh Batavia terendam banjir (Yahya, 2018). Â
Banjir kerapkali melanda Jakarta, dan persoalan ini kerapkali berulang-ulang terus  walaupun bebrapa program pengendalian banjir dilakukan, seperti Program kali bersih, Banjir Kanal Timur, normalisasi sungai dan lain sebagainya, namun tetap saja jakarta selalu mendapatkan banjir.
Persolan yang tak kalah peliknya adalah kemacetan Jakarta. Mirlanda (2011) ada sekitar 747 titik kemacetan di Jakarta, dimana kawasan-kawasan sub urban yang ada terus tumbuh dan menjadi salah satu penyumbang kemacetan di Ibukota Jakarta. Â Permasalahan yang ada memperlihatkan bahwa Jakarta sangat multidimensi peruntukannya seperti pusat bisnis, pusat pemerintahan, hiburan dan wisata karenanya membuat jadi pusat untuk menarik urbanisasi dan memunculkan kawasan-kawasn sub urban.Â
Kondisi tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh ahli tata kota, Yayat Supriatna, Â bahwa ada invasi dan penetrasi kawasan yang semula untuk hunian menjadi kawasan komersial akibat ketidaktegasan penegakan perencanaan tata ruang wilayah DKI Jakarta (Mirlanda, 2011). Ketidak tegasan dalam tata ruang inilah tidak hanya persolan lingkungan namun juga persolan sosial semakin mengalami peningkatan dan semakin kompleksnya permasalahan.
Salah satu hal yang menjadi perhatian saat melihat Jakarta sebagai ibukota harus berpindah adalah persolan daya dukung Jakarta yang kini sebagai ibu kota negara sudah melampaui daya dukungnya (over carring capasity). Ini dibuktikan hasil kajian Kementerian PU 2010 yang mengukurnya dengan menggunakan jejak ekologi (Ecological Footprint/EF).Â
EF adalah instrumen untuk mengukur pemanfaatan sumber daya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia dikaitkan dengan kemampuan lahan (hektar). Parameternya: penggunaan lahan untuk tanaman, penggembalaan, kawasan hutan, penangkapan ikan, penyerapan karbon oleh tanah dan bangunan (https://news.detik.com/kolom/d-4682404/menuju-ibu-kota-negara-maritim). Â
Jakarta sejak 2010 sudah mengalami defisit daya dukung. Terbukti, nilai EF-nya lebih besar dari biokapasitasnya (biocapacity) (baca: Rees, 1996). Biocapacity (BC) adalah ukuran ketersediaan lahan produktif secara ekologis (Ferguson, 2002). Nilai EF-nya sebesar 13.552.967 ha, sedangkan BC-nya 142.005 ha.Â
Daya dukungnya defisit sebesar -13410962 hektar. Artinya, penggunaan sumber daya alam di Jakarta telah melampaui batas kapasitas alam untuk menyediakannya. Akibatnya, ia tak representatif lagi sebagai ibu kota negara. Soalnya, makin lama pertambahan populasi, transportasi, penggunaan sumber daya (lahan, kawasan pesisir, dan air tanah) makin tinggi. (https://news.detik.com/kolom/d-4682404/menuju-ibu-kota-negara-maritim)
Ibukota baru dan ekologi pesisir: Sebuah Catatan untuk Pesisir Kalimantan Timur
Kehadiran ibukota negara diwilayah peisisr kalimantan timur secara langsung akan berkelindan dengan berbagai macam ekosistem yang ada  hal ini mendapatkan penekanan dari KLHK bahwa pemindahan ibukota baru memiliki banyak hambatan ekologis ( ecological constrain). Oleh karena diharapkan pembangunan ibukota negara tidak menimbulkan kerawann-kerawanan ekologis.
Kerawanan ekologis menurut Suyud (2020)  terdapat  empat hal yang dapat menyebabkannya antara lain adanya pengambilan sumberdaya secara berlebihan, penggunaan teknologi yang kurang bijaksana, ganguan ekternalitas seperti pencemaran, dan pengunaan lahan yang tidak sesuai.Â
Untuk  mengidentifikasi terkait dengan kerawanan ekologis beberapa hal kawasan ekologis perlu mendapatkan perhatian khusus saat pembangunan kawasan ibukota baru. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain; kawasan mangrove, keanekaragaman hayati, pemukiman pesisir, aktivitas budidaya perikanan, transportasi pesisir.
Kawasan pesisir kalimantang timur yang ditetapakan sebagai kawasan ibukota baru, jika di bagai adalam beberapa ekosistem terdapat sekitar 5 ekosistem yang mendiami wilayah pesisir tersebut yakni, ekosistem sungai, ekosistem hutan tropis, ekosistem lahan basah, ekosistem teluk dan ekosistem pesisir atau laut.Â
Pokja bersama lingkungan hidup (2019) menyebutkan bahwa kehadiran ibukota negara di wilayah pesisir kalimantan timur akan mengakibatkan perampasan hidup masyarakat pesisir dan nelayan tradisonal diwilayah Panajam dan juga teluk Balikpapan, yang mana nelayan menggantungkan hidupnya di laut ( laporan Pokja Bersama, 2019).
Ekologi pesisir Kalimantan Timur yang harus diperhatikann anatara lain sumber air bersih, kawasan hutan lindung dan Teluk balikpapan. Kawasn teluk Balikpapan menjadi catatan utama  terkait dengan kawasan ekologi pesisir kawasan mangrove dan keberdaan ikan pesut di teluk Balikpapan. Â
Keberadaan Ibukota negara dikhawatirkan akan mengacam keberdaan kawasang mangrove di pesisir kalimantan Timur. Menurut laporan Walhi dan Tim Pokja bersama (2019) Â kawasan mangrove membentang sepanjang 17 km dari kecamatan Balikpapan hingga pesisir teluk teluk diwilayah kecamatan Panajam. Ekosistem mangrove memberikan banyak manfaat layanan bagi fungsi alam dan perekonomian yang dimanfaatkan untuk sektor perikanan, sumber makanan dan pusat pertumbuhan berbagai jenis ikan, udang dan kepiting.
Kawasan ekologi pesisir yang perlu mendpatkan perhatian lainnya alah pemukiman pesisir, kehadiran ibukota baru akan diikuti munclnya pemukiman-pemikukan kawasan penyangga yang slah satua adalah pesisir Panajam adan atau Balikpapan. Â Astjarioan dan Kusnida (2011) mengingatkan bahwa perlunya penataan kawasan pemukiman diwilayah pesisir hal ini dilakukan untuk menekan peningkatan prasarana pesisir yang tidak sesuai tata ruangnya dan menekan peningkatan pembuangan limbah.Â
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ekonomi budidaya pesisir sebagai penopang mata pencaharian alternative dari masyarakat pesisir agar tetap diperhatikan. Aktivitas ekonomi pesisir ini menjadi penting karena kehidupan melaut tidak dapat optimal jika kondisi laut tidak sesuai dengan teknologi perikanan yang dimiliki.
Dampak ekologi pesisir juga harus dapat dilihat pada aspek sosial, terutama pada kehadiran pendatang atau migrasi penduduk yang akan datang kawasan ibukota baru. Beberapa aspek ekosistem pesisir telah disebutkan terkait dengan lokasi dan kawasan yang rentang mengalami kerawanan ekologi, namun aspek lain yang perlu diperhatikan supaya kerawanan ekologis itu tidak menimbulkan dampak yang yang berlebihan.Â
Hal yang perlu dicermati adalah hubungan antar etnis atau suku bangsa, karena ini rentan ketika bersingguhan dengan dimensi ekonomi terutama dalam pemanfaatan ekosistem pesisir. Sehingga pengelolaan sosial dan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dan keahlian perlu dilakukan secara beriringan
PENUTUP
Ibukota baru sudah ditetapkan oleh pemerintah, tahapan yang dilakukan adalalah mempersiapkan ibukota agar layak untuk ditempati dan memberikan aksesibilitas bagi masyarakatnya serta memberikan kebermanfaatan secara sosial dan ekologi. Wacana pemindahan ibukota sudah berlansung lama, namun benang merah dari rencana pemindahan ibukota tersebut adalah daya dukung dari ibukota yang selama ini ada dinilai sudah tidak lagi menampung beban lingkungan.
Penetapan kawasaan pesisir Kalimantan Timur diharapkan sudah mampu mengidentifiaksi beberapa persolan yang locusnya merupakan kawasan pesisir, sehingga kerawanan-kerawana ekologis dapat di diminimalisasi. Â Persolan lain yang perlu juga menjadi perhatian adalah terkaita dengan aspek sosial yang mana hal ini akan berkelindan dengan aspek lingkungan jika persolan ini tidak ditanganai dengan penuh kehati-hatian. Oleh karena perlu melakukan identifikasi multipihak serta menajga komitmen untuk melakukan pembangunan tanpa merusak alam, dan memperhatikan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat dalam melakukan pengelolaan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Astjariao. P dan D.Kusnadi. (2011). Tinjauan aspek-aspek pembangunan yang mempengaruhi dampak lingkungan kawasan laut. Jurnal geologi Kelautan vol 9.Â
Rukmana, Deden. Pemindahan ibukota baru
Hutasoit, Weley Liano. (2018). Analisis Pemindahan Ibukota. Dedikasi Vol 19 .
Mirlanda. Ayu Mirna. (2011). kerugian ekonomi akbibat kemacetan ibukota. Tugas Akhir. Â Jakarta.UI
Utomo, Suyud W. (2020), Kajian Deskripsi tipologi ekosistem beserta kegiatan dan kerawanannya. Bahan ajar kuliah Ekologi. Jakarta.
Publikasi Bersama , (2019). Bukota Baru untuk siapa ? laporan investigasi WALHI
Yahya, H.M, (2018). Pemindahan Ibukota Negara Maju dan Sejahtera. Jurnal Studi agama dan masyarakat vol 14. No 01, juni 2018.
Sumber Media
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H