Dari semua wacana terkait dengan pemindahan ibukota serta penetapan pemindahan Ibukota memiliki benang merah yang sama yakni kota Jakarta sudah tidak mampu lagi mendukung beban sosial dan juga lingkungan yang dihadapi Jakarta. Â Permasalahan segregasi sosoal di masyarakat sudah terbentuk dengan munculnya kemiskinan kota sebagain bagian dari urbanisasi yang tak terkendali dan juga permasalahan lingkungan polusi kemacetan dan banjir.
Mengapa Pindah dari Jakarta ?
Dalam catatan sejarah kota Jakarta, dapat dikatakan bahwa sejarah Jakarta adalah sejarah tentang banjir. Tercatat Pada tahun 1872 meluapnya sungai Ciliwung mengakibatkan jebolnya pintu air sehingga merendam kawasan Batavia. Peristiwa yang sama terjadi pula di tahun 1932 sebagai dampak dari hujan lebat menyebabkan hampir seluruh Batavia terendam banjir (Yahya, 2018). Â
Banjir kerapkali melanda Jakarta, dan persoalan ini kerapkali berulang-ulang terus  walaupun bebrapa program pengendalian banjir dilakukan, seperti Program kali bersih, Banjir Kanal Timur, normalisasi sungai dan lain sebagainya, namun tetap saja jakarta selalu mendapatkan banjir.
Persolan yang tak kalah peliknya adalah kemacetan Jakarta. Mirlanda (2011) ada sekitar 747 titik kemacetan di Jakarta, dimana kawasan-kawasan sub urban yang ada terus tumbuh dan menjadi salah satu penyumbang kemacetan di Ibukota Jakarta. Â Permasalahan yang ada memperlihatkan bahwa Jakarta sangat multidimensi peruntukannya seperti pusat bisnis, pusat pemerintahan, hiburan dan wisata karenanya membuat jadi pusat untuk menarik urbanisasi dan memunculkan kawasan-kawasn sub urban.Â
Kondisi tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh ahli tata kota, Yayat Supriatna, Â bahwa ada invasi dan penetrasi kawasan yang semula untuk hunian menjadi kawasan komersial akibat ketidaktegasan penegakan perencanaan tata ruang wilayah DKI Jakarta (Mirlanda, 2011). Ketidak tegasan dalam tata ruang inilah tidak hanya persolan lingkungan namun juga persolan sosial semakin mengalami peningkatan dan semakin kompleksnya permasalahan.
Salah satu hal yang menjadi perhatian saat melihat Jakarta sebagai ibukota harus berpindah adalah persolan daya dukung Jakarta yang kini sebagai ibu kota negara sudah melampaui daya dukungnya (over carring capasity). Ini dibuktikan hasil kajian Kementerian PU 2010 yang mengukurnya dengan menggunakan jejak ekologi (Ecological Footprint/EF).Â
EF adalah instrumen untuk mengukur pemanfaatan sumber daya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia dikaitkan dengan kemampuan lahan (hektar). Parameternya: penggunaan lahan untuk tanaman, penggembalaan, kawasan hutan, penangkapan ikan, penyerapan karbon oleh tanah dan bangunan (https://news.detik.com/kolom/d-4682404/menuju-ibu-kota-negara-maritim). Â
Jakarta sejak 2010 sudah mengalami defisit daya dukung. Terbukti, nilai EF-nya lebih besar dari biokapasitasnya (biocapacity) (baca: Rees, 1996). Biocapacity (BC) adalah ukuran ketersediaan lahan produktif secara ekologis (Ferguson, 2002). Nilai EF-nya sebesar 13.552.967 ha, sedangkan BC-nya 142.005 ha.Â
Daya dukungnya defisit sebesar -13410962 hektar. Artinya, penggunaan sumber daya alam di Jakarta telah melampaui batas kapasitas alam untuk menyediakannya. Akibatnya, ia tak representatif lagi sebagai ibu kota negara. Soalnya, makin lama pertambahan populasi, transportasi, penggunaan sumber daya (lahan, kawasan pesisir, dan air tanah) makin tinggi. (https://news.detik.com/kolom/d-4682404/menuju-ibu-kota-negara-maritim)
Ibukota baru dan ekologi pesisir: Sebuah Catatan untuk Pesisir Kalimantan Timur