Hallo Semuaa!!
   Perkenalkan nama saya Nanda Aprilian, mahasiswa semester 4 di Universitas Komputer Indonesia, jurusan Ilmu Komunikasi. Dalam kesempatan ini, dengan penuh rasa syukur, saya mempersembahkan artikel perdana sebagai refleksi dari pengalaman pribadi yang berharga, saat menjalani kehidupan di Pondok Pesantren Nurul Iman Cibaduyut.
Di usia saya yang ke-13 tahun, saya melangkahkan kaki ke Pondok Pesantren Nurul Iman Cibaduyut dengan penuh semangat. Keputusan untuk mondok datang dari diri sendiri, didorong oleh rasa ingin menimba ilmu agama dan merasakan kehidupan di pesantren. Namun, rasa bahagia itu diiringi pula dengan kesedihan. Meninggalkan zona nyaman dan jauh dari orang tua serta keluarga untuk pertama kalinya bukanlah hal yang mudah.
Satu bulan setelah kedatangan saya di pesantren, sebuah rintangan tak terduga menghampiri. Rasa gatal yang tak tertahankan muncul di sekujur tubuh saya. Awalnya saya bingung, karena saya selalu menjaga kebersihan dengan mandi dua kali sehari dan menjaga kebersihan lemari pakaian, rasa gatal itu tak kunjung reda. Barulah saya menyadari keberadaan hewan kecil yang dikenal sebagai Tumila atau serangga pengganggu yang sering bersembunyi di tempat tidur di asrama kami. Keadaan semakin memburuk ketika tangan saya mulai terasa merah, bengkak, dan sangat sakit akibat gatal-gatal itu. Saya, yang pada saat itu amatir dalam urusan penyakit kulit, mencoba mengobati dengan menggaruk, namun hal itu malah memperparah kondisi tangan saya, bahkan sampai mengeluarkan nanah. Meskipun penyakit ini, yang dikenal dengan sebutan cenang, umum terjadi di pesantren, namun bagi saya, ini merupakan pengalaman pertama yang sangat menyakitkan.
Tanpa ragu, saya segera mengadu kepada orang tua dan pengurus asrama. Karena rasa sakit yang tidak tertahankan, saya dibawa ke klinik terdekat. Di sana, dokter mendiagnosis bahwa bengkak di tangan saya disebabkan oleh kurangnya menjaga kebersihan. Namun, dalam hati kecil saya, saya yakin gatal-gatal itu disebabkan oleh Tumila di asrama, saya menerima saran dokter dengan hati terbuka. Seminggu setelah berobat, rasa sakit di tangan saya semakin tak tertahankan. Saya pun meminta izin untuk pulang dan dijemput oleh orang tua saya. Sesampainya di rumah, saya disambut oleh kakak- kakak saya yang  menggoda saya dengan ledekan tentang cenang. Kami pun tertawa, meskipun dalam hati saya masih merasakan perihnya.
Di balik pengalaman pahit ini, ada sebuah peribahasa santri yang terngiang di telinga saya, "Mun can budug can nerap elmuna" (Jika belum budug, belum meresap ilmunya). Meskipun terasa lucu, peribahasa ini mengandung makna bahwa seorang santri harus siap menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan dalam proses menimba ilmu. Dibalik semua penderitaan yang saya alami, saya tidak pernah berpikir untuk meninggalkan pondok pesantren. Sebaliknya, saya semakin merasa betah dan yakin bahwa di sana, Allah telah menyiapkan rencana yang indah untuk masa depan saya. Sebagaimana yang pernah diingatkan oleh Kyai saya disana, "Jadi Santri Harus Siap Susah, Karena Jadi Orang Kaya Tidak Perlu Persiapan. Andaikata Kita Jadi Susah Maka Sudah Ada Persiapan".
Kisah ini mungkin hanya sepenggal pengalaman kecil, namun saya harap hikmah yang terkandung di dalamnya dapat bermanfaat bagi para pembaca. Sampai jumpa di artikel berikutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H