Mohon tunggu...
Nana Rohana
Nana Rohana Mohon Tunggu... -

enjoy my activity

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanyakan pada Desember

26 Desember 2012   14:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:00 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1356529648511859206

Pagi yang menakjubkan

Sayup-sayup, suara khas penghuni rumah papan, terngiang kembali. Dedaunan layu, sontak merekah ketika suara itu kembali menyapa pagi. Kukuruyuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu……..ya, demikian suara khas-nya si Jago, Ayam jantan milik pak Kardi, tetangga sebelah rumah, yang setiap harinya menjadi jam beker bagi para pecinta tidur di komplek tersebut.

Sebuah langkah pendek berayun menuju serambi. Mata yang masih butuh penyesuaian dengan lingkungan sekitar karena baru bangkit dari istirahat panajang itu, di paksa beradaptasi. Di atas lahan seluas 10 x 10 meter, langkah pendek itu berhenti dan berpijak di atas rumput basah. Ranum buah Mangga yang dihiasi bercak-bercak air hasil fenomena alam, menghipnotis sang pemilik mata. Sungguh, pagi yang menakjubkan.

Abi…….Abi…..Abdillahhhhh

Plakkkkk. Seperti di terjang Halilintar, seketika lamunan pagi yang baru saja di mulai itu, sirna. Abdillah, sang pelamun itu nyaris terpingkal-pingkal ketika mendengar namanya di dendangkan dengan volume yang tak kalah dahsyatnya dengan speacker aktif.

“OH MY GOD. Ada apa gerangan ini ?”, bisikan panik terlontar dari bibir Abdillah. Laki-laki yang biasa di sapa Abi itu, segera beranjak, berjalan setengah berlari menuju sumber suara, yang jaraknya tak begitu jauh dari pelupuk mata nya.

“hufffff…..huff…huufff. Ke…kenapa, ada apa, Ma?” dengan napas terengah-engah, serta tangan mengucak-ngucak kedua matanya, Abi langsung membombardir Fina, Ibu-nya dengan dua pertanyaan sekaligus.

“Ini sudah jam berapa, Abdillah ? bukannya segera beresin perlengkapan yang mau di bawah pergi, eh malah ngelamun yang ngak jelas gitu,” ucap Fina, yang sementara mengayunkan sendok yang berisi selai, di atas beberapa potong roti.

“Hah……astaga…” tanpa menjawab ocehan Ibu nya, Abi yang saat itu bak orang yang baru sembuh dari amnesia, langsung berlarian. Suasana rumah pagi itu mulai gaduh. Abi kebingungan mencari dan mengemas barang-barang keperluan yang akan di bawah nya pergi, yang memaksanya untuk harus membongkar isi lemari dan beberapa perabotan di dalam rumah. Benar-benar pagi yang menakjubkan.

Terbang tanpa sayap

Jarum jam yang berukuran pendek berada pada angka 9 dan yang panjang pada angka 12. Suasana rumah masih riuh dengan aktifitas packing ala Abi. Hari ini, dirinya akan terbang ke luar kota. Di tiket, waktu keberangkatan pukul 11.30. setidaknya Abi sudah harus berada di Bandara satu atau setengah jam sebelum waktu keberangkatan. Hingga pukul 10.15, aktifitas packing serasa tak usai. Abi yang tadinya sudah memasukan beberapa potong baju dan perbekalan lainnya ke dalam ranselnya, tiba-tiba barang-barang itu di keluarkan kembali. Entah apa yang di pikirkan Abi saat itu.

“Arggggggggg….ransel mini-Ku harus tetap melekat dipungggung Ku, sampai kapan pun”. Abi berikrar, seolah sedang menghadapi tantangan maha dahsyat, yang mengharuskan dirinya memilih pilihan yang tepat. Tanpa banyak berfikir lagi, diambilkannya ransel yang sudah tak berisi itu, kemudian satu persatu barang yang telah dikeluarkannya tadi, di masukan kembali ke ransel. Serius memasukan barang ke ransel, muncul di hadapannya sesosok pria bertubuh kurus, hitam dan jangkung.

Pria jangkung itu kemudian menghempaskan sesuatu yang ada di genggamannya, kearah Abi. Dengan cekatan Abi yang tengah serius packing, spontan meladeni tantangan pria itu.

“wow….tangkapan yang baik. Cepatlah Abianus, masukin seluruh bawaan mu ke kapal itu,” suara perintah terlontar begitu saja dari si kulit hitam, yang biasa disapa Ethock, yang memerintahkan Abianus, nama kerennya Abi, untuk segera memasukan seluruh bawaannya ke dalam tas yang baru di hempaskannya tadi, yang ukurannya nyaris sebesar kapal.

“Gila, tas sebesar ini ? tidak, tidak…...,” Abi mendorong tas yang dilengkapi dengan roda kecil di bawahnya.

“Ok, kalau tidak digunakan, saya balikin ke yang empunya. Silahkan kamu cari cara menyelamatkan bawaan kamu yang setumpuk gunung itu,” Ethock mencoba menentang Abi.

Tatapan tajam yang penuh pertimbangan, terlihat jelas di wajah Abi. Sesekali dia mengkerutkan jidatnya, seolah sedang merencanakan sesuatu. Tepat sekali, Abi memutuskan memilih tas berukuran besar itu dan dengan rela harus meninggalkan tas punggung kesayangannya, bervolume 12 liter yang di punggung tas terpampang Pin bertuliskan Amboina. “maafkan Saya Sob, dengan terpaksa Saya terbang tanpa mu, tanpa sayap yang sehari-hari terpaut di punggung ini,” desis Abi, yang kemudian melantuntankan kalimat perpisahan kepada seisi penghuni rumah, kemudian melangkah dan berlalu.

Kembali ke tanah perjuangan

Di tanah ini Aku pernah berjuang

Di tanah ini Aku meraih impian

Di tanah ini pula Aku bisa menjadi diri Ku

Yang saat ini berpijak gagah di atas pundak Mu

Aku kembali untuk Mu tanah perjuangan

Mendongak ke langit tak berawan, di sambut hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajah yang penuh kegirangan kala itu, membuat lamunan sang pujangga, semakin terbang keangkasa. Syair-syair yang baru saja di pentaskan di panggung lamunannya, tetap bersahaja.

Di tanah ini Aku pernah berjuang, Di tanah ini Aku meraih impian, Di tanah ini pula Aku bisa menjadi diri Ku, Yang saat ini berpijak gagah di atas pundak Mu, Aku kembali untuk Mu tanah perjuangan,” ya, itulah Abi yang kemudian melafaskan kembali sepotong syair maha karya-nya sendiri, ketika hendak keluar dari badan pesawat, yang saat itu telah tiba di Kota yang ditujunya.

Bersambung……………………………..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun