Membaca berita kompas.com 22 Juni 2014 dengan judul: "Gerindra: Dengan Cara Apa Pun, Prabowo Harus Menang!" Â membuat hati ini was-was dan khawatir. Dalam berita tersebut Sekjen Gerindra Ahmad Muzani saat berbicara di depan para anggota Partai Gerindra Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan: "Kebanggaan kita akan tegak kalau Prabowo jadi presiden. Beban Saudara berat, Jawa Tengah berat, Yogyakarta berat. Kami ingin saudara bersama-sama bekerja keras memenangkan pertarungan pilpres. Saya hadir malam ini untuk dapat kepastian kita siap menghadapi pilpres. Dengan cara apa pun Prabowo harus menang".
Pernyataan Sekjen Gerindra tersebut seperti mengkonfirmasi tudingan-tudingan yang selama ini dilontarkan oleh banyak pengamat bahwa Gerindra menghalalkan segala cara untuk menang. Bahkan Siti Zuhro peneliti LIPI bulan Mei 2014 sebelum kampanye pilpres sudah memperingatkan agar tidak memilih capres-cawapres yang halalkan segala cara untuk menang.
Memang selama sebulan ini masyarakat Indonesia dibombardir dengan berbagai macam kampanye hitam tanpa dasar fakta yang cukup seperti Jokowi non-muslim, Cina, tukang jual aset, capres boneka, dan lain-lain. Kampanye hitam tersebut terutama menyasar kalangan rakyat bawah yang akses informasinya kurang. Lebih seru kampanye hitam tersebut ternyata memukul balik kubu Prabowo. Dokumen fakta dasar-dasar rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tahun 1998 untuk memberhentikan Prabowo tiba-tiba keluar. Publik jadi tahu hal-hal yang selama ini dicoba disembunyikan dan dimanipulasi oleh Gerindra.
Dari dokumen DKP publik jadi sangsi dengan ucapan Prabowo saat debat capres-cawapres putaran pertama. Waktu ditanya tentang demokrasi, Prabowo mengatakan "Demokrasi bagi kami adalah alat, tangga menuju cita-cita yaitu Indonesia yang kuat dan sejahtera. Kita ingin demokrasi yang produktif dan destruktif, membawa kemakmuran". Â Pernyataan Prabowo dalam debat patut disangsikan sebab apa yang dilakukan Prabowo pada 1998 bertentangan dengan ucapannya. Apalagi bila dikaitkan dengan pernyataan Sekjen Gerindra di atas. Ucapan Prabowo tentang demokrasi harus dipertanyakan karena Gerindra melakukan hal-hal yang membahayakan demokrasi.
Dari dasar-dasar rekomendasi DKP 1998 dapat disimpulkan, bahwas saat bayi demokrasi sedang diperjuangkan untuk lahir dengan susah payah dan penuh pengorbanan melawan pemerintah Orba oleh anak-anak muda pada tahun 1996-1998, Prabowo bukan berperan sebagai bidan yang menolong proses kelahiran agar bayi demokrasi lahir dengan selamat, tetapi Prabowo justru menjadi aktor yang bersiap mematikan bayi demokrasi yang sedang lahir.
Dengan rekam jejak, kampanye hitam, dan pernyataan Sekjen Gerindra, kita boleh curiga pada motivasi Prabowo untuk menggunakan jalur demokrasi untuk menjadi presiden. Jangan-jangan Prabowo menggunakan demokrasi demi meniadakan demokrasi, seperti sub judul tulisan YB. Mangunwijaya di Kompas, 9 Nopember 1996. Romo Mangun, demikian sapaan akrabnya, sepertinya punya intuisi saat mulai marak aksi demonstrasi mahasiswa menuntut demokrasi, bahwa jalan demokrasi untuk nantinya meniadakan demokrasi bisa terjadi di Indonesia.
Romo Mangun dalam tulisannya mengambil contoh Hitler seorang kopral tentara Jerman yang luka dan frustasi setelah mendengar kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I. Dia bertekad untuk berkuasa lewat jalan demokratis.
Saya cuplik awal tulisan Romo Mangun tersebut:
SUATU hari Minggu suram kelam 78 tahun yang lalu, 10 November 1918  seorang kopral tentara Jerman yang luka-luka berat di rumah sakit  menangis frustasi, sesudah seorang pastor yang mengunjungi para pasien memberitakan bahwa di luar dugaan patriotiknya Jerman menyerah kalah kepada Perancis Inggris AS dan sekutu-sekutu. Kopral itu Adolf Hitler. Kaisar Wilhelm II dinasihati Pangab dan Staf Jenderalnya sendiri agar turun tahta, lari ke luar negeri dan menyerahkan pimpinan negara kepada politikus sipil bermayoritas Partai Sosialis Demokrat yang sebetulnya tidak suka mengambil oper pimpinan negara yang sedang ambrol dan dipaksa tentara untuk menerima syarat-syarat kekalahan yang amat menghinakan Jerman di Compiegne dan Versailles.
Hitler anak desa Austria yang kemudian di kota Wiena yang gemerlapan cuma buruh serabutan rendah amat miskin. Tetapi pada hari gelap 10 November 1918 itu (yang oleh nasib sejarah tanpa sangkut-paut sedikit pun setanggal dengan Hari Pahlawan kita) Hitler, genius dahsyat untuk berkuasa tanpa ampun tanpa moral, bersumpah kepada diri sendiri untuk membangkitkan kembali Jerman Raya yang jaya-wijaya, dan memutuskan untuk menjadi seorang politikus. Dengan tekad luar biasa dan terutama ketegaan tanpa moral akhirnya ia menjadi seorang diktator kejam seolah-olah keranjingan iblis yang menyebabkan kematian dan penderitaan tak terperi kepada puluhan juta manusia tak bersalah selama hanya 12 tahun berkuasa di Jerman dan menyulutkan perang 6 tahun di seluruh dunia.
Lebih jauh Romo Mangun menulis: