Talia namanya. Ketika SMA kelas sebelas, ia berduka. Kedua orangtuanya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat terbang. Sebagai anak malang, ia yang sebatang kara kemudian diajak pulang kampung oleh neneknya. Ia pun dikenal sebagai anak kota yang harus hidup dalam suasana dan nuansa desa.
Ia sesungguhnya bukan anak yang suka bertingkah macam-macam. Ia menikmati waktunya yang dua puluh empat jam dengan sepenuh penghayatan dalam catatan jadwal yang ditulis secara rapi. Ia tidur delapan jam sehari, sepuluh jam untuk bersekolah. Waktu yang tersisa digunakan untuk menekuni hobinya, bercengkerama dengan neneknya, berjalan-jalan dengan teman-temannya, mengakrabi media sosial juga, sama dengan remaja lainnya.
"Baju seragam Kamu yang dari kota, diganti dengan seragam yang sama dengan di sekolah, Nduk,"begitu saran neneknya, ketika melihat bajunya tetap sama seperti semula. Rok didesain sekitar lima centi di atas lutut.
"Ini sudah seragam, Nek. Bagde sudah saya ganti. Aku menyulamnya sendiri lho, Nek. Rapi nggak?" ia malah pamer badge yang menempel di lengan dan dadanya.
"Bagus. Pinter memang, cucu Nenek,"kata neneknya memujinya,
"Tapi, Nduk,"lanjutnya,
"Pesan kakek kepada anak-anaknya dulu, kini berlanjut kepadamu, janganlah berulah yang mengakibatkan orang membencimu."
"Hm...itu di luar kontrol kita, Nek,"sahutnya sambil memoleskan lip balm di bibirnya.
"Glossy ya, Nek. Tapi tidak berwarna kan?"ia pun menunjukkan bibirnya sambil duduk di sebelah neneknya dengan  berkaca di cermin kecil yang dipegangnya.
"Iya. Jangan memancing kemarahan guru. Belum saatnya mengenakan pemerah bibir. Tunggu sampai mahasiswa. Kalian bebas mengenakan make up, bahkan boleh menikah."