Senja temaram. Bulan bersinar muram. Semuram hatiku di antara kesuraman lampu teras depan yang sudah hampir dua bulan tidak lagi berpenghuni sejak kematian ayahku. Aku masih tidak segera beranjak kendati nyamuk-nyamuk dengan dengungan khas membisingkan telingaku yang tengah merenung.
Merenung atau melamun? Aku merasa sedang merenung dalam hal ini sedang melakukan kontemplasi akan perlakuan kami kepada ibu tiri yang selama ini merawat ayah. Sudah layakkah kami bersikap seperti itu? Jika tulisan berbeda, tentu makna pun berbeda karena melamun dapat diartikan bengong kendati fokus ke satu masalah tapi tak jelas apa yang dipikirkannya. Selain mengenang sepotong demi sepotong kenangan yang menyentuh perasaan tanpa mencari solusi untuk mengatasi.
Aku memang tidak tinggal di desa masa kecilku begitu mendapatkan pekerjaan di luar kota berlanjut menikah. Begitu pula saat ibuku meninggal dunia, aku hanya sesekali pulang menengok ayah. Kebiasaan yang berlanjut  sampai ayah yang sudah pensiun itu menikahi janda. Usinya lebih muda daripada ayah walaupun beliau tidak lagi berusia muda.
Ayah  bertetangga dengan kakak perempuanku. Aku yang merasa tenang karena beliau di hari tuanya ditemani kakak, hanya mengirimi uang semampuku, kadang sebulan sekali kadang juga beberapa bulan baru mengirimi uang sekaligus datang menengok. Bagaimanapun, aku sudah berkeluarga yang juga harus membagi waktu untuk pekerjaan dan keluargaku. Ayah pun tidak keberatan. Sepeninggal ibu beliau memang hidup sendirian di rumah yang bersebelahan dengan kakak perempuanku itu.
Lama kelamaan sebagai sesama lelaki, aku menggoda ayah bagaimana jika ayah menikah lagi? Ayah kan juga membutuhkan teman hidup yang bisa diajak bercengkarama di senja hari di depan televisi atau di teras seperti yang kulakukan sore ini. Ayah yang kesehatannya sudah sangat menurun, sebagian mungkin kurang berolahraga selain pola makan yang tidak teratur sepeninggal ibu, tentu membutuhkan tangan cekatan wanita yang tulus karena saling membutuhkan teman hidup di hari tua.
Aku pun share ke grup teman-teman barangkali ada janda sebaya ayahku yang berkenan menemani beliau hidup. Tak kusangka, beberapa teman menawari mengenalkan dengan saudaranya, temannya, ibunya, tantenya. Dari sekian yang dikenalkan, ada seseorang yang juga bernasib sama dengan ayah. Suaminya meninggal. Ia bertetangga dengan anak perempuannya yang sudah menikah. Maka, setelah kami kenalkan dengan ayah sepulangku menemani beliau mengambil uang pensiun, aku sengaja cuti untuk itu, ibu tersebut yang merupakan tetangga temanku di grup, mau menikah dengan ayah lengkap dengan syaratnya yaitu harus tinggal di rumah ayahku untuk menemaninya.
Kakak perempuanku di luar dugaanku, marah. Ia mengatakan bahwa uang pensiun ayah masih sekitar empat jutaan. Ia tidak rela uang itu dikelola ibu tiri. Ayah sudah pernah menikah. Untuk apa menikah lagi yang berarti tidak setia kepada almarhumah ibu. Toh kakakku masih sanggup memasakkan makanan untuk ayah. Jika ayah cape ia bisa mencarikan tukang pijat. Demikian pula jika ayah sakit, ia pun sanggup mengantarkan ke dokter. Yang pasti, ia tidak setuju.
Aku terkejut sesaat sambil mencoba memaklumi bahwa untuk urusan kuat menyendiri, secara fakta kaum ibu memang banyak yang lebih betah menyendiri sepeninggal suami daripada kaum lelaki. Akan tetapi, ayahku lelaki dan kebetulan mengatakan bersedia menikah lagi saat kukenalkan dengan tetangga temanku di grup whatsappku. Maka, protes kakak perempuanku pun tidak kutanggapi. Aku hanyalah memberikan pengertian bahwa ayah adalah lelaki.
Setelah pernikahan itu, aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Sesekali mengirimi uang dengan cara mentransfer, sesekali menengok ayah. Bahkan setelah ayah menikah lagi, setelah kebutuhan hidupku semakin banyak karena anak-anak semakin besar, semakin butuh lebih banyak biaya, perumahan pun mulai aus di sana sini membutuhkan renovasi, aku pun tidak lagi kepikiran tentang ayah. Urusan pekerjaan dan rumah tanggaku pun menyita waktu dan pikiranku.
Tiba-tiba saja, pada tahun kelima pernikahan ayah, saat itu ayah sudah berusia 70 tahun, aku menerima kabar dari kakak perempuanku bahwa ayah sakit. Aku pun bergegas pulang. Itu pun terlambat. Ayah sudah hampir dimakamkan, sehingga aku hanya sempat mengantar ke pemakaman.
Pada bulan kedua kematian ayah, aku datang ke rumah. Selain itu, kakak perempuanku memintaku untuk pulang, ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Aku bertemu dengan bi Ranti, tetangga kami. Sambil membawa pisau untuk memotong daun pisang di halaman rumahnya untuk pembungkus pepes bandeng, bi Ranti bercerita yang membuatku terkejut.