Aku tengah browsing untuk mencari informasi seputar renovasi rumah, yang ternyata selalu memerlukan biaya tidak sedikit. Akan tetapi, aku selalu menghibur diri, bahwa untuk investasi, tidak ada kata rugi. Walaupun demikian, mengingat betapa banyak dana yang tercurah untuk renovasi dan tak kunjung kuanggap selesai, ada teman yang mengkritik, seharusnya aku memikirkan kuliah lagi ke S2.
 Aku yang ada bakat menulis, barangkali berpeluang pindah ke Dikti untuk menjadi dosen dengan berbekal ijazah S2? Tapi aku selalu ragu. Jangan-jangan, setelah kuliah sambil berharap bisa pindah tempat kerja dengan sekian dana yang sudah kukeluarkan, ternyata tidak ada lowongan untuk pindah?
Mentalku yang seolah telah mengalami pembunuhan karakter, selalu tidak memiliki alternatif lain, selain menginvestasikan uang untuk renovasi rumah. Aset yang kuanggap bakal bisa menolongku apabila suatu saat karena satu dan lain hal, aku harus melepaskan pekerjaanku.
Tiba-tiba terbaca sebuah nama "Dhianita" di wordpress.com dalam sebuah blog yang memuat berbagai artikel tentang desain eksterior & interior rumah. Sesaat aku tertegun, jangan-jangan ini Dhianita tetanggaku di perumahanku ini, sekaligus teman kuliah di fakultas kependidikan? Akan tetapi, aku memang tidak pernah berhubungan dan bertemu lagi setelah itu. Betulkah ini Dhianita?
Dengan rasa penasaran kudatangi studionya.Aku tidak puas hanya bertanya dan menulis komentar di blognya. Aku  ingin bertemu dengannya.Aku pun tiba di kawasan perumahan yang sebetulnya juga tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Berbagai keraguan kembali menyeruak. Betulkah ini tempat tinggal Dhianita? Jika benar, berarti ia harus pulang balik Mojokerto-Taman? Bagaimanakah ia mengatur waktu? Dengan keraguan penuh, kudorong pintu kaca sebuah studio mini dalam sebuah rumah berdesain minimalis tapi tampak mewah itu.
      "Hai!" tegurnya yang bergegas bangkit dari kursi dan memelukku. Celana panjang jin,T-shirt, dan alat tulis di tangannya, seolah melekat di tubuhnya sejak pagi tadi. Ia tidak mengajar?
      "Kamu mengapa di sini? Kamu tidak mengajar?"tanyaku heran.
      "Aku berhenti,"jawabnya santai sambil mengambil air kemasan dari kulkas, diberikan kepadaku..
      Aku masih tertegun dan memperhatikan sekeliling. Di belakang tampak kolam mini dengan air terjun. Aku masih tertegun-tegun melihat desain interior rumahnya yang terasa mewah sekaligus tak percaya. Bagaimana mungkin, Dhianita yang guru muda seangkatanku, dengan gaji sekitar tiga jutaan, keluar dari pekerjaannya kemudian memiliki studio berdesain mewah di kawasan perumahan elite pula?
Kami memang berteman ketika di kampus. Aku kagum pada pembawaannya yang memiliki rasa percaya diri kuat.Ia tipe high profile  dan seolah ingin selalu dikagumi lelaki. Bahkan demi diperhatikan kaum lelaki, ada kesan seakan ia tega menggoda-goda.  Tatkala buruan sudah terjerat, ia tinggalkan begitu saja, sambil seolah bangga bisa pamer bahwa ia mampu membuat kaum lelaki bertekuk lutut kepadanya.
Pembawaan yang kontras denganku. Aku cenderung low dan tak acuh. Walaupun demikian, kekontrasan sikap kami membuat kaum lelaki memberi cap sama. Sama-sama dicap sombong dan pilih-pilih lelaki. Cap yang akhirnya membuatku menjadi semakin penakut dan sebaliknya, membuatnya semakin pemberani. Sedemikian pemberani, sampai- sampai ia keluar dari pekerjaan impian hampir seluruh bangsa mantan negara jajahan Belanda ini ,PNS, tatkala ada konflik dengan pacarnya.