Aku melangkah menuju bandara. Jika ditanya ke mana, jawabku tentu saja, pulang. Entahlah, begitu lulus kuliah kemudian bekerja, orang pertama yang terbayang tatkala kulihat jumlah gajiku adalah ibuku.Â
Maka, yang kulakukan kemudian adalah mentransfer semuanya ke rekening ibuku dengan alasan titip, aku hanya membawa seperlunya. Toh, andaikan  membutuhkan uang sewaktu-waktu, aku tinggal memintanya kembali kepada ibu.
Rasanya sudah lama. Lama sekali. Begitu aku memasuki usia 15 tahunan ketika aku mulai membantah apa pun yang dikatakan ibu. Kuanggap ibu terlalu dominan di rumah. Aku memberontak dengan cara tidak mematuhi aturannya terutaman yang berkaitan dengan kedisiplinan di sekolah.
Perilaku yang membuatku menyesal tatkala aku harus berkuliah di negeri orang karena segala yang dikatakan ibu ternyata benar adanya. Kerinduan dan penyesalan yang mendalam akhirnya dapat kusalurkan sebaik-baiknya dengan cara menyelesaikan kuliahku tepat waktu.Â
Setelah itu, pekerjaan bermasa depan cerah pun menunggu. Betapa bahagianya ibuku. Perjuangannya untukku ternyata bukan angin lalu, walaupun dulu sering merasa pilu karena pembangkanganku. Tapi akhirnya duka ibu telah berlalu.
Sambil merasakan pesawat yang  agak terguncang-guncang manakala menembus awan. Turbulensi. Kondisi tatkala kecepatan aliran udara berubah drastis.Â
Pesawat sudah didesain untuk menahan turbulensi, walaupun demikian ada perasaan gentar juga dalam hatiku. Maka yang kulakukan kemudian adalah menengok ke jendela, melihat ke bawah.Â
Kebetulan aku duduk dekat jendela. Langit terlihat jernih. Jangan-jangan yang terjadi malah turbulensi udara cerah? Clear air turbulence? Ah, aku tidak ingin panik berlebihan. Yang kulakukan kemudian adalah berdoa demi keselamatan kami semua.
"Mama!" aku menghambur ke pelukannya sambil mengingat kebiasaanku semasa kecil. Ibu pun memelukku juga seperti kebiasaannya, sambil mengacak-acak rambutku. Tapi kini kesulitan karena aku sudah semakin tinggi dibandingkan saat aku masih suka bermanja dulu.
"Aduh, rambut Mama dibiarkan memutih, nggak keren,"tegurku sambil duduk di samping papa. Mama beranjak ke kulkas mengambilkan air minum untukku.
"Sebentar lagi jika anak cucunya berkumpul, mamamu pasti ke salon,"jawab papa.
"Cucu-cucuku menangis jika neneknya tampak tua,"sahut mama,"Apalagi si Derys itu. Begitu melihat rambutku tak beraturan, langsung menuju motornya,'Ayo Nek, ke salon. Jadi ilfil lihat nenek tampak nenek-nenek beneran.' Saat masih kecil ia selalu menangis melihat rambut kubiarkan memutih. Kini sudah SMP pun ia masih tidak rela neneknya tampak menua."
"Maklum cucu pertama,"sahutku mengenang keponakanku tertua, anak kakakku tertua pula.
"Nanti sore mereka semua ke sini,"kata papa.
"Menyambut kedatanganmu,"lanjut mama.
"Wah, jadinya istimewa ini,"jawabku sambil meneguk air jeruk lemon dingin.
****
Matahari sudah condong ke barat. Panas menyengat seperti yang kurasakan tadi siang sudah tidak seganas semula, walaupun bekasnya masih menghangat di tembok rumah. ibu menyirami tanaman anggreknya. Dulu, aku sering dimarahi  jika lalai menyiraminya. Kini, slang itu kuminta dari tangan ibu, kemudian kusirami semua tanaman kesayangan ibu.
"Kamu tumben menjadi rajin?"
"Kangen cerewetnya mama kali ya?" lanjut ibu menertawai ulahku. Aku pun tertawa. Ingin kesibukan itu terselesaikan, kemudian menumpahkan hal yang menyesak di dada, yang ingin kuceritakan hanya kepada ibu.
Maka, aku pun meminta ibu duduk di sebelahku di taman mungil rumah kami. Di sudut ada kursi-kursi yang selalu teduh dinaungi kerimbunan daun mangga gadung. Mangga yang terasakan lembut dan sangat manis bahkan ada rasa sedikit gurih jika masak di pohon.Â
Di jalan banyak orang berjualan mangga tersebut, ditulisi pula "masak pohon". Aku semakin ingin segera tiba di rumah karena teringat kebiasaan ibu yang selalu mengupasnya untuk kami. Jika mangga sudah dikupas, baru kami berebut memakannya menggunakan garpu.
Kali ini pun ibu duduk disebelahku sambil mengupas mangga gadung yang keharumannya sudah tercium.
"Ingin cerita apa anak mama ini?" tanya ibu sambil mengirisnya kecil-kecil kemudian meletakkannya di piring yang sudah terdapat garpu. Aku pun mencicipinya. Hmm...manis.
"Untuk urusan cinta, tak ada teman curhat yang netral selain mama,"kataku. Ibuku tertawa menatapku.
"Jatuh cinta ke berapa kali ini? Satu-satunya anak lelakiku yang terkesan playboy hanya Kamu. Dari keenam anakku, dua perempuan dan empat lelaki. Semuanya kalau pacaran satu orang dan awet sejak SMA, malah ada yang sejak SMP. Hanya Kamu yang agak-agak playboy,"komentar ibu sambil masih meletakkan irisan mangga di piring. Aku tertawa saja.
"Lelanange jagat, meniru Arjuna versi wayang Jawa. Semoga yang tersakiti hatinya tidak menyumpah-nyumpah nih,"lanjut mama lagi sambil meletakkan pisau. Siap mendengarkan curhatku.
"Aku bingung nih, Ma,"aku memulai ceritaku, "Aku punya teman wanita. Begitu melihat fotoku berduaan dengan wanita lain, padahal itu foto papa dan mama semasa muda, ia pun marah. Ia cemburu. Saat ia bertanya siapakah cewek itu? Kujawab pacarku. Ia pun berlalu. Sejak saat itu sampai sekarang, ia menghilang bagai angin lalu."
"Lalu, ada yang lain lagi, pastinya,"tebak ibu dan aku pun mengiyakan.
"Yang satunya lain lagi sikapnya. Slow deh Ma. Ia nggak marah. Ia tetap memanggilku sayang walaupun kutunjukkan ada wanita lain."
"Tidak marah sama sekali?"
Hm...aku teringat beberapa bulan lalu.
"Ada sih Ma. Tapi ulahnya lucu. ia gunakan foto-fotoku untuk profil. ...
"Akhirnya?Lucu atau manipulatif? Kamu seharusnya ia hargai privacymu, Nak."
"Akhirnya semua tahu kalau aku jadian sama dia."
"Itu bagimu bukan ulah cemburu?"
"Iya sih,"jawabku saat mama menatapku tajam,"Tapi, setidaknya ia nggak langsung meninggalkan aku saat ada wanita lain. ia malah bertekat bersaing."
"Wanita lain itu Kauposisikan sebagai orang pertama sebelum kenal dia atau orang kedua setelah kenal dia?"
"Tentu saja sebagai orang pertama."
Hmm...mama lama terdiam. Helaan napasnya terdengar sebagai hukuman bagiku. Hal yang membuat aku bertanya-tanya apa salahku?
"Berarti ia tahu ada wanita lain sebelum dirinya, tapi ia tak peduli? Malah ingin bersaing?"
"Tapi, Ma," kilahku, "Ia sangat pengertian. Ia sangat sabar. Setelah peristiwa pemasangan foto-fotoku untuk profilnya di media sosial menuai protesku, kini ia tidak lagi melakukannya. Kini bahkan ia tidak marah jika aku menggoda wanita-wanita lainnya. Hebat kan, Ma?"
Mama mengangguk. Anggukan yang membuatku senang sehingga aku memeluknya.
"Hebat. Ia sukses membuat anak mama berangan-angan menjadi kolektor cewek dengan sikap diamnya."
"Lho, tapi...
"Lho tapi apaan?" sergah mama,"Sepanjang apapun usia manusia, tak akan lebih dari 200 tahun. Bahkan fakta menunjukkan bahwa yang lahir lebih dulu belum tentu mati lebih dulu, kan? Itu, artinya, baik yang muda maupun yang tua hanya memiliki waktu tiga hari. Hari kemarin yang tinggal kenangan. Hari ini yang harus dinikmati dan disyukuri, serta hari esok yang belum tentu datang menjelang. Camkan itu."
"Berarti cara-caranya menurut mama salah?"
"Coba uraikan pesan tersiratnya,"pinta mama.
"Ia tidak marah saat aku mendua. Ia tidak mundur saat ada wanita lain....
"Begitukah cinta?" tanya mama menatapku lagi.
"Bingung deh,Ma."
"Cinta itu tidak ada pamrih. Ia hanya menuntut dicintai juga. Titik. Tatkala cinta yang diberikan tidak mendapatkan cinta setara, mengapa bertahan?"
"Jika bertahan?"
"Berarti ada pamrih. Uangmu misalnya."
"Jika aku mengaku tidak punya uang? Lagi di PHK?"
"Selagi wajah dan tubuhmu masih bisa dimanfaatkan. Minimal difoto dipamerkan ke teman-temannya atau pipimu dicubiti. Kan lumayan bisa meluapkan gairah."
"Jika keduanya tidak ada? Uang nggak ada. Fisikku pun jelek dan cacat, misalnya?"
"Tanyai hatimu."
"Berarti yang mundur saat ada wanita lain itu lebih tuluskah?"
"Mama tidak tahu karena tidak kenal orangnya. Hanya saja, saat ada wanita lain apalagi wanita itu telah ada lebih dulu. Untuk apa bertahan? Selain cintamu terbagi, ia pun akan menyakiti hati wanita lain yang ada lebih dulu kan?"jawab mama,"Kecuali jika ia berupaya menyingkirkan wanita awal yang telah datang lebih dulu itu."
"Apa sih maunya Mama?" tanyaku akhirnya.
"Sejujurnya, setiap ibu selalu menemukan celah kekurangan pada diri wanita teman anak lelakinya. Bagi seorang ibu, tak ada yang setulus dirinya dalam menyayangi anaknya. Seorang ibu akan sangat cemas kelak anaknya dimanfaatkan."
Mama menghentikan ucapannya. Seiris mangga pun dinikmatinya menggunakan garpu.
"Tapi mama berusaha percaya. Hanya satu yang mama minta. Pilihlah wanita yang membuatmu ingin menjadi lebih baik. Bukan yang membiarkan Kamu seenaknya ingin menduakannya. Ingat, umur manusia tak ada yang tahu. Dalam perjalanan yang serba rahasia ini, selalu berupayalah menjadi orang baik-baik."
"Menurut Mama, cewek yang langsung mundur saat kukatakan ada wanita lain, itu lebih baik?"
"Lebih tulus. Minimal ia cintai dirinya dan wanita pendahulunya. Makanya ia tidak memberimu celah untuk maju dengan cara menghilang dari kehidupanmu. Temui dan katakan Kamu hanya mengujinya. Itu bukan fotomu."
"Mengapa?"
"Karena ia hanya meminta cintamu, Nak. Bukan uangmu, gengsimu, dan tubuhmu."Mama menyentuh keningku.
Aku pun terbangun. Pesawat masih terasakan berguncang sesekali, walaupun tidak sehebat awal. Aku ternyata telah tertidur selama lima menit kemudian mimpi bertemu ibu. Ingin rasanya pesawat segera mendarat agar aku bertemu mama secepatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI